28 Jul 2007

Komunitas Film !

Kemarin, Sabtu 28 Juli, saya berjalan di Surabaya. Perjalanan ini untuk sharing dengan teman-teman komunitas film Surabaya. Jumlahnya banyak. Energinya fantastik ! Tapi tanpa akses dan mencoba bebagi pengalaman nampaknya tidak produktif.
Kita sharing. Saya ingin tahu mereka. Mengenal lebih dekat tentang proses mencipta : Film !
Luar biasa. Saya jadi ingin belajar banyak tentang produktivitas. Dan segalanya, tanpa, atas nama uang. Uang bukan tujuan. Uang, mungkin hanya kendaraan, pikir saya.
Saya menjadi tahu bagaimana mereka berbagi dan mencoba berkubang di ruang kreatif.
Saya menjadi penasaran untuk tahu lebih banyak mereka, kerja mereka dan karya-karya mereka.
Sambil berjalan, saya terus belajar bagaimana komunitas film itu tersebur. Bukan hanya mengantung di pusat, dan bukan atas nama uang yang seringkali menghancurkan produktivitas.
SUARA PEMBARUAN DAILY
edisi 30, Mei 2006


Catatan Film "Un Certain Regard Cannes 59 th" 2006
Percakapan yang Tidak Biasa


Dalam Festival Film Cannes yang belum lama digelar, Un Certain Regard, adalah kategori untuk film-film yang memperoleh perhatian khusus. Kenapa demikian?
Dalam kategori itu, film lebih dinilai sebagai pencapaian dari sineas pembuatnya. Kemampuan untuk melakukan transformasi dalam kebaruan film, baik secara tematik, teknis, cara bertutur, senantiasa menjadikan film untuk Un Certain Regard lebih menghadirkan kesegaran sebagai sebuah karya penciptaan. Tidaklah aneh, jika banyak orang datang ke jenis film ini, lantaran mereka jenuh dengan gaya tutur yang sudah biasa dan mapan dalam film komersial.
Salah satu hal kontras yang membedakan kategori itu dengan kompetisi Palme d'Or (Palem Emas), adalah kemampuan dalam menghargai film sebagai sebuah bahasa tutur tanpa perlu untuk dipusingkan oleh segenap kategorisasi sinematik. Ketika menonton film dalam kompetisi Un Certain Regard, penulis menemukan ada cara tutur yang menempatkan film sebagai sebuah bahasa lepas dari segenap kategori sinematiknya. Untuk menciptanya, dibutuhkan sebuah keberanian dan pertanggungjawaban yang matang.
Tidaklah mengherankan jika untuk Un Certain Regard senantiasa dipenuhi penonton untuk melihat sebuah kebaruan dalam menafsir bahasa pesan sinema. Dan, bukan perkara yang mudah pula untuk mencoba mencerna segenap film. Tetapi, eksistensinya justru memberikan tantangan dan tawaran kreatif yang tiada batas, namun tetap enak sebagai sebuah bahasa tontonan, tanpa harus jatuh pada segenap keterbatasan.
Jika kita masuk ke jenis film kompetisi Palem Emas, penonton sudah siap dengan segenap standarisasi ala gaya tutur film Eropa dan Amerika secara umum. Artinya, ada anggaran besar, pemain tenar, promosi yang di luar akal sehat, dan sederet nama sutradara mapan. Perang kreatif dalam sebuah pasar sinema yang tak pernah usai tampaknya.
Misalnya, kita akan menemui film Volver karya sutradara Pedro Almodovar, dengan cerita khas penuh kejutan berikut jaminan nama aktris Penelope Cruz. Babel, film produksi Paramount Picture, dengan mengambil empat lokasi terpisah (Maroko, Tokyo, Meksiko, dan Amerika) dari sutradara Alejandro Gonzales Innaritu yang dibintangi Brad Pitt. Film Maria Antoinette, beranggaran besar dari sebuah dunia aristokrat Prancis, karya Sofia Coppolla dengan aktris Kirsten Dunst.
Wajah Palme D'Or dan Un Certain Regard memang cukup berbeda. Namun, yang pasti, Festival Film Cannes ke-59, masih menyisakan karya yang lebih banyak menyoroti film sebagai sebuah kerja keras sutradaranya, dengan segenap penemuan yang berhasil dilakukannya. Tidak mengherankan, inilah yang menjadi daya tarik dari kategori Un Certain Regard, sejumlah film yang perlu (dan penting) untuk diperhatikan secara khusus. Bahkan, gengsinya tak kalah dari Palem Emas itu sendiri.
Kesederhanaan
Ada 24 judul film yang tergabung dalam seleksi kategori Un Certain Regard. Sayangnya, tak banyak karya sineas Asia yang ambil bagian di dalamnya. Sineas Eropa, tampaknya masih dominan.
Sekalipun tidak terlalu dominan, namun cukup memberikan kekuatan untuk kategori itu. Tercatat, hanya beberapa film dari Asia, yakni China (Luxury Car, Wang Chao), Korea Selatan (The Unforgiven, Yoong Jo-Bin), dan Indonesia (Serambi, Garin Nugroho, Tonny Trimarsanto, Viva Westi, Lianto Luseno). Dari negara dunia ketiga lain masuk film dari Paraguay (Hamaca Paraguaya, Paz Encina), dan Meksico (El Violin, Fransisco Vargas).
Film Hamaca Paraguya, karya sineas perempuan Paz Encina, misalnya, cukup mengejutkan. Film itu hadir penuh kecerdasan. Kejutan yang tidak diartikan dengan pencapaian teknologi paling mutakhir ataupun musik yang mengharukan, tetapi hadir dalam sebuah kesederhanaan yang menawan.
Film itu dibuka dengan gambar statis dalam percakapan panjang, tentang orangtua yang ditinggal anaknya pergi berperang, tanpa pernah tahu kapan kembali. Dan sepanjang film pula, penonton tak pernah tahu, sosok anak itu seperti apa, kecuali suara percakapan anak dan orangtua. Kamera yang statis, senantiasa membuat penasaran, karena penonton tak ubahnya hadir dalam sebuah panggung teater.
Hamaca Paraguya, membuktikan kematangan desain film. Sineas pembuatnya sangat fasih, bagaimana mengaduk keingintahuan penonton tentang wajah se- orang tua dan istrinya, yang tak pernah di-close up sepanjang film, karena menggunakan teknis kamera master shoot. Kalaupun ada medium, wajah si tokoh tetap tak terlihat dan selalu membelakangi penonton. Namun, karena content desain dan teknisnya begitu matang, film ini begitu mengalir dengan keintiman percakapan orangtua yang ingin mengetahui nasib anaknya.
Hamaca Paraguya, adalah film yang didanai New Crowed Hope, dari tujuh judul lainnya. New Crowned Hope sendiri menyiapkan film dari tujuh sutradara dunia, dengan karakter dan gaya tutur yang mengejutkan. Mungkin tak wajar, tetapi sungguh memikat sebagai sebuah pencapaian estetik. Selain Paz Encina dari Paraguay, ada nama Bahman Ghobadi (Iran, Half Moon), Mahamat Saleem (Afrika, Darratt), Teboho Malatsi (Afrika, Stickfighters), Garin Nugroho (Indonesia, Opera Jawa), Tsai Ming Liang (Taiwan, Dark Circle), dan Apichatpong (Thailand, Syndromes and Century).
Sineas Ajazair Rabah Ameur Zaimeche, yang bekerja dengan orang-orang Prancis dalam film Bled Number One, juga cukup menyita perhatian dalam kompetisi Un Certain Regard ini. Kisahnya sederhana. Tentang nasib perempuan dalam sebuah dunia Islam.
Keintiman sebuah keluarga yang hangat, pemain-pemain yang berkarakter, serta gaya kamera yang tanggung sedikit bergerak layaknya turis yang datang ke sebuah wilayah yang asing, menempatkan film ini lebih pada pendekatan film dokumenter yang sangat rumit manakala itu dikemas dalam fiksi. Sebab, kita akan mendesain blocking puluhan orang yang wajar sehari-hari, tanpa pernah itu direkam kamera. Sebuah dunia yang keras terhadap wanita, dan kemampuan melakukan eksperimen kemasan pop, adalah keunggulan dalam film ini.
Politik
China dengan kekhasannya hadir dalam film Luxury Car, karya Wang Chao. Kisahnya sederhana, seorang gadis muda yang melacur, berpararel dengan kisah ayahnya yang terus-menerus mencari adik si gadis pelacur itu. Wang Chao, sangat fasih dengan pendekatan film Cina yang tak ubahnya sebuah renung perjalanan, ketika sang bapak mengetahui apa kerja anak gadisnya. Film itu hadir tanpa kejutan teknis, namun sangat artistik dalam membangun kisah, kemampuan seni peran setiap pemain adalah kejutan tertahan yang secara cair bisa ditangkap.
Ten Canoes, karya sutradara Australia Rolf De Heer, memberikan cerita dalam cerita. Film itu mengangkat wajah suku Aborigin di Australia 1000 tahun lalu, ketika orang kulit putih belum masuk ke Australia. Tak ada pemain terkenal, kecuali orang-orang asli Aborigin dengan bahasa aslinya.
Film itu mengisahkan sepuluh orang laki-laki Aborigin yang ingin membuat perahu. Pada saat membuat perahu itulah, dituturkan kisah-kisah cinta, heroisme serta ending penuh kejutan dari kisah manusia Aborigin sebelumnya. Film ini menarik, karena mendekatkan kita pada dunia masa lampau tanpa harus menjadikannya sebagai dunia yang berjarak.
Sepanjang film, penonton tak ubahnya turis yang melakukan perjalanan jauh ke masa silam, dengan kisah yang menawarkan banyak peluang untuk menebak ending-nya. Film yang akan menjadi film pembuka di Sydney Film Festival bulan depan ini, cukup bersahaja dalam menghadirkan kehidupan masyarakat Aborigin.
Tema politik dan militer masih mendominasi kategori Un Certain Regard. Misalnya, dari Korea Selatan (The Unforgiven) masih menawarkan tema lama, yakni dunia militer. Bahwa dunia militer itu identik dengan kekerasan, senioritas yang diutamakan, serta berpeluang untuk mencetak perilaku seksual yang menyimpang.
Ada lagi dari Rumania karya Catalin Mitulescu (The Way I Spent The End of The World). Kisah perubahan politik di Rumania, dari potret keluarga kecil di pinggiran kota. Dengan setting Rumania 1989, kita akan tahu betapa kuatnya diktator Ceausescu. Tanpa sengaja memecahkan patung Ceaucescu di sekolah, sang pelajar harus rela dipindahkan ke sekolah kejuruan dan dihukum disiplin.
Potret kehidupan masyarakat urban yang penuh konflik dan berliku, juga dengan mudah dilihat dari karya sutradara Eropa-Australia. Misalnya film Suburban Mayhem (Australia, Paul Goldman), Murderes (Perancis, Patrick Grandperrett), Retrieval (Polandia, Slavomir Fabickhi) URO (Norwegia, Stefan Dalkbakheen), yang mengisahkan pahitnya sebuah keluarga yang hidup dalam wilayah pinggiran kota, identik de- ngan hamil muda, narkotika, tanpa kerja, kriminalitas dan yang lain.
Kerinduan
Film-film yang hadir dalam kategori Un Certain Regard, senantiasa menghadirkan kerinduan. Sebab, yang terus-menerus ditawarkan adalah penemuan bahasa tutur sinema. Ia bukan berdasarkan kalkulasi, bagaimana film itu nanti akan menjadi karya komersial yang besar dan laris, tetapi lebih pada kemampuan dan kerja keras dalam melakukan pembaruan dunia sinema.
Segenap tema yang disodorkan, sangat sehari-hari. Sederhana dan bersahaja. Bahkan cenderung memikat, sehingga mampu mengajak melakukan telaah reflektif dan lebih dalam. Mungkin akan identik dengan penemuan film yang artistik.
Bahkan, mayoritas kritikus akan mengamini film yang masuk dalam kategori itu, lebih pada film artistik daripada film pasar. Proses mencipta memang akan tetap hidup. Proses berkarya bukan hanya ditopang dan jangan hanya diopinikan sebagai karya dengan kalkulasi standar pasar, biaya besar, opini publik homogen. Un Certain Regard, memberikan ruang hidup yang lebih melegakan bagi sineas pencipta untuk menawarkan bagaimana bercerita dengan segenap penemuannya, tanpa harus memikirkan standar baku.
Film-film di Un Certain Regard, paling tidak telah mewakili film dengan jenis dan tema yang biasa, namun menyimpan kejeniusan dalam bertutur, dan mengemas. Ruang pertumbuhan semacam itulah yang pada akhirnya akan tetap membuka ruang untuk mencipta yang lebih demokratis.
Tonny Trimarsanto, sutradara film "Serambi".

Last modified: 30/5/06
Trauma Kolektif Film Dokumenter
SINAR HARAPAN , Kamis, 3 Oktober 2002
Oleh Tonny Trimarsanto,

Penyelenggaraan Jakarta International Film Festival (JIFFEST) 2002 tahun ini, ternyata mempunyai pilihan baru bagi teraktualisasikannya jenis film dokumenter. Film dokumenter, tampaknya mempunyai posisi yang serius dari 120 film yang digelar dari 30 negara dunia. Sehingga, membaca perhelatan JIFFEST 2002, akan semakin menambah cakrawala baru dunia filmis-visual sinematografis kita.Harus disadari bahwa, perkembangan film dokumenter di tanah air tak banyak memberikan harapan. Artinya, film dokumenter dalam perkembangannya, tak pernah mengalami masa produktif dan diapresiasi dalam batasannya yang konstruktif. Artinya, tak banyak dari warga masyarakat kita yang mengenal apa sesungguhnya film dokumenter itu sendiri. Opini dunia film sinematografis kita hingga saat ini, masih didominasi oleh karya-karya film fiksi, yang lebih diasumsikan sebagai karya yang memang layak untuk diapresiasi.Dari 120 judul film yang diputar, tak kurang 38 di antaranya adalah film dokumenter. Dengan komposisi 17 judul adalah film dokumenter garapan sineas lokal, yang mencoba mengungkapkan beragam bentuk fakta, keseharian kita dalam kajian film sinematografis. Paling tidak, munculnya film dokumenter melahirkan asumsi-asumsinya yang serius. Lantaran, film dokumenter di tanah air tak pernah memperoleh tanggapan yang serius.Inipun tak bisa disalahkan sepenuhnya. Sejarah perkembangan film dokumenter di tanah air, ternyata menyisakan segenap trauma psikologis komunal bagi masyarakatnya. Film dokumenter, bukan saja dipandang sebagai bentuk media yang mampu memberikan informasi, suluhan, pendidikan ataupun hiburan. Lebih parahnya adalah, film dokumenter telah menjadi alat politik bagi negara dalam mensosialisasikan kebijakan yang mendukung status quo. Pelajaran menarik, bisa diambil dari negeri Nepal. Negeri kecil Nepal ini, pernah mengalami sistem pemerintahan yang korup dan otoriter selama 30 tahun di bawah rezim penguasa Panchayat. Kala rezim Panchayat berkuasa, semua akses media dikuasai sepenuhnya. Media film apalagi. Ketika muncul film dokumenter, yang mengaktual adalah wacana propaganda. Artinya, film menjadi sebuah pilar penting bagi sosialisasi dan nilai-nilai yang relevan dengan eksistensi penguasa. Negara adalah saya, itulah yang terjadi.Namun, perkembangannya menjadi berbalik seratusdelapanpuluh derajat, manakala kekuasaan itu runtuh. Terlebih setelah pada tahun 1985, dibukanya kebebsan untuk berdirinya stasiun televisi swasta. Industri televisi secara progresif telah mendukung lahirnya keberagaman ekspresi dalam bahasa visual film media. Maka, pertumbuhan karya-karya visual film terus bermunculan. Begitu pula dalam produksi karya dokumenter.Pengalaman yang terjadi di negara Nepal mengasumsikan bahwa masyarakatnya masih menyimpan sebuah trauma kolektif dari film dokumenter. Film sebagai alat politik, itulah yang senantiasa yang menempel. Satu dampak yang masih nampak adalah , para pemilik stasiun menjadi sedikit bersikap protektif bagi masuknya kreativitas yang telah tumbuh luar biasa dalam diri pembuat film dokumenter. Birokrasi stasiun televisi dengan pertimbangan politik dan industri ini masih masuk akal. Pada fenomena yang lain, adalah, sekalipun pernah mengalami trauma kolektif panjang dari bentuk film dokumenter, Nepal menjadi salah satu negara yang secara rutin menggelar festival film dokumenter tahunan.Untuk kawasan Asia, perkembangan film dokumenter terus menerus mengalami pendefinisian baru. Kenyataan ini bisa disadari, bahwa film dokumenter di tanah air, juga mengalami fase yang sama. Yakni, pertumbuhannya, senantiasa tidak bisa konstruktif. Tidak bisa disalahkan juga, kenapa film dokumenter terus berada dalam basis marginal. Sebab, desain pencitraan film dokumenter di tanah air berjalan dalam jalurnya yang buruk.Kita masih ingat, misalkan pada zaman pemerintahan Orde Baru, film dokumenter adalah sebuah karya propaganda. Film dokumenter adalah alat politik untuk bisa menyampaikan pesan-pesan politis kepada masyarakat. Baik itu dari elemen visualnya, ataupun audionya. Sehingga, karena dikembangkan dalam patron semacam ini, sangat masuk akal jika film dokumenter tidak tumbuh secara konstruktif.Maksudnya, perbincangan tentang film dokumenter tak lepas dari kisah-kisah politis dari pemerintah. Film dokumenter Indonesia adalah cerita tentang sebuah desa yang maju dari pembangunan fisiknya, mempunyai kepatuhan terhadap pemerintah, dan memberikan pernyataan singkat : bahwa pemerintahanlah yang mewujudkan semua itu. Politik propaganda menjadi menu utama dalam mayoritas film dokumenter yang pernah diproduksi. Justru karya dokumenter semacam inilah yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat, karena ditayangkan secara rutin di stasiun milik pemerintah TVRI.Masuknya pendana ataupun lembaga yang men-support pembuatan film dokumenter, memberikan paradigma baru. Lembaga-lembaga kemasyarakatan non pemerintah yang memberi dana bagi produksi film dokumenter, ternyata menciptakan sistem baru. Baik itu dari segi bentuk, kepentingan ataupun content yang dimuatinya. Lembaga non pemerintah, baik yang lokal ataupun asing, telah menciptakan paradigma baru bagi produksi film dokumenter. Nilai tambah inilah yang akhirnya menjadi paradigma baru, bagi bergesernya nilai-nilai film dokumenter yang telah dikukuhkan oleh pemerintah. Dokumenter propaganda yang menciptakan trauma kolektif panjang. Tetapi bukanlah persoalan yang sederhana untuk bisa menggeser sebuah paradigma dokumenter propaganda tersebut. Sebab, biasanya film dokumenter yang lebih objektif, mempunyai sikap, idealisme dan pilihan fakta tepat, tidak pernah dikonsumsi dalam wilayah publik yang luas. Hanya terbatas saja penikmatnya. Alhasil, untuk bisa melahirkan film dokumenter yang benar-benar konstruktif, akan membutuhkan fase yang panjang. Apalagi, jika merelevankannya dengan apa yang terjadi dalam industri televisi, menyangkut perkembangan film dokumenter.Jumlah film dokumenter yang ditayangkan oleh stasiun televisi tak lebih dari 5% mayoritas program yang disiarkannya. Kebijakan industri untuk tidak menayangkan film dokumenter dalam kuantitasnya yang banyak, mungkin sebuah pilihan yang tepat, lantaran industri televisi akan terkait erat dengan kalkulasi-kalkulasi ekonomis yang memaksanya untuk tidak memberi porsi lebih pada film dokumenter.Faktor lain yang juga mempengaruhinya adalah, bahwa masyarakat kita masih menyimpan trauma kolektif panjang terhadap film dokumenter propaganda. Ada sinisme pada film dokumenter. Sehingga menumbuhkan peminatnya untuk lebih banyak, terasa sulit dan berat. Sementara, dari beberapa karya dokumenter yang sempat ditayangkan di era industri televisi pada saat ini, telah ditemukan serangkaian sensasi-sensasi baru dari apa yang disebut sebagai film dokumenter.Pengenalan keragaman film dokumenter lewat jalur festival, pada kenyataannya adalah sebuah pilihan yang tepat. Sangat tepat untuk bisa mengenalkan, bahwa memang begitu banyak gaya bertutur dari film dokumenter itu sendiri. Paradigma-paradigma yang selama ini belum pernah kita kenal sebelumnya. Sehingga sangat masuk akal, manakala film dokumenter berpeluang untuk dikenal lebih luas oleh publiknya.Film dokumenter adalah karya yang sebenarnya dekat dengan publik. Ia tak lebih dari sebuah jendela yang menghantarkan kita pada serangkaian fakta yang begitu dekat dengan dunia kehidupan sehari-hari. Film dokumenter adalah penyampai fakta-fakta riil, kongkret, dekat dengan diri kita. Atau bahwa akan membawa penikmatnya pada sebuah petualangan baru tentang kehidupan yang belum pernah dikenalnya.Konon, film dokumenter mampu memberikan kontribusi serius bagi siapa yang mengonsumsinya. Lebih kongkretnya, bisa dibuktikan, jika menonton film dokumenter, dengan kadar muatan: pengetahuan, informasi, kecerdasan, bahkan mungkin bisa mendorong lahirnya empati. Ini yang sering terjadi. Penulis adalah sutradara, pengamat film dan pertelevisian.

IN PRODUCTION

Tsunami : Gift of Life
Sam Pek Engtai ( Kasih Tak Sampai )

Renita's Journey : Mangga Golek
Merdeka atoe Mati !
Operasi Subyektivitas

My Film

  • GERABAH PLASTIK (2002), ROEDJITO (2003), HELP SPECIES DYING (2003), THE DREAM LAND (2003), I LOST MY FOREST IN ONE MINUTES (2004), THE LAST FOREST (2004), I WILL (2004), HANNA RAMBE (2004), MOTHE'S TEARS (2004), SERAMBI (2005), OUR BELOVED MOTHER (2005), HUMAN TRAFFICKING (2006), RENITA RENITA (2006), IN SHADOW OF THE FLAG (2007), SAM PEK ENGTAI (Kasih Tak Sampai- in production)

Mengenai Saya

Klaten - Jakarta pulang-pergi, Indonesia
Saya film director, fasilitator workshop film dan penulis.