28 Agu 2007

Workshop FFD

Membaca Kerangka komunikasi

Beberapa hari ini, Kunz program director dari FFD tengah sibuk menyongsong pelaksanaan festival. Ia meminta masukan saya tentang workshop yang ideal macam apa, dan apa saja yang sebenarnya dibutuhkan oleh setiap pembuat film dokumenter . Encouraging Indonesian Documentary, dengan pemateri dari Belanda, Canada dan India.

Berikut pertanyaan yang diajukan oleh Kuntz, yang meminta masukan saya :
(1) workshop macam apa yang dibutuhkan oleh filmaker dokumenter saat ini ?
(2) materi macam apa yang mutlak diberikan kepada mereka sehingga bisa mendorong laju
perkembangan film dokumenter Indonesia ?
(3) hal yang paling dibutuhkan oleh pembuat dokumenter indonesia ?

membaca beberapa pertanyaan di atas, tentu workshop tersebut akan punya sebuah tujuan besar, dan mulia bagi penumbuhan pembuat dokumenter. Ketika membaca pertanyaan itu, saya mencoba memikirkannya :

(1)
memang, pengalaman saya ketika ke beberapa kota, ada satu pertanyaan bahwa yang dibutuhkan oleh pembuat film dokumenter adalah, sebuah workshop yang sederhana, artinya
membuat film dokumenter jangan dipahami dengan segenap kerumitan kerumitan dan narasi
yang besar betapa gagah-nya bisa membuat film dokumenter itu. Jalan tengahnya adalah, mencoba membangun pemahaman bahwa workshop yang ideal adalah memberikan
pemahaman dan pengetahuan yang sederhana dalam membuat film dokumenter. Arti
sederhana, adalah, ia sederhana dalam hal alat, sederhana dalam pembiayaan, sederhana
dalam sistem kerja. Dengan kata lain, siapapun bisa membuat film dokumenter. Membuat
film dokumenter akan menjadi sederhana, manakala ada pemahaman bahwa ada segenap
keterbatasan yang dipunyai oleh pembuat, atau calon pembuat film dokumenter. Kebayakan
workshop memang mencoba tampil eksklusif dengan lompatannya pada ide-ide yang lebih
dari sekadar bagaimana membuat film dokumenter dengan keterbatasan yang dipunyai.
Konsep sambil berjalan, sambil lalu namun tetap intens dan fokus pada apa yang dikerjakan,
sekalipun akan memakan waktu yang panjang, akan lebih tepat sebagai model pelatihan
workshop.


(2)
pertanyaan kedua terasa, berat, karena atas nama pembuat film dokumenter bangsa indonesia. Sebab, kita tidak bisa berkata dari pembuat film mana, dengan kepadatan komunitas setiap kota, wilayah atau yang mana. Perkembangan film dokumenter akan menjadi mempunyai progres target yang menakjubkan, jika ada pemahaman bahwa membuat film itu seperti seorang pengrajin tempe, yang dengan mudah dijumpai di pasar tradisional, sehingga siapapun bisa menikmatinya. Untuk menjadi pengrajin, tentu butuh produktivitas. Untuk menjadi produktif, tentu, ada keberanian untuk mencoba, bereksperimen, apapun itu hasil akhirnya. Sebagai tempe yang enak ketika sudah digoreng, atau "besem", tentu tak jadi soal. Yang paling penting adalah bagaimana melahirkan sebuah produktivitas. Ini menjadi mimpi asaya juga.

(3)
hal yang paling dibutuhkan oleh pembuat dokumenter adalah, bagaimana ia mampu mempunyai konstruksi bagaimana menuturkan ide dengan tool yang ia punyai. Kebanyakan dari kita terlahir sebagai penggagas film dengan ide-ide film yang luar biasa cerdasnya. Namun akhirya ia hanya mnjadi sebuah ide saja ketika dibuat menjadi film. Ide-ide yang menarik, itu komentarnya. Kebanyakan dari kita terlahir dengan sikap profesional yang luar biasa dalam hal data dan kemampuan dalam melakukan riset. Tetapi tidak pernah menjadi sebuah film dengan data kuat dan cara pandang yang matang. Yang menjadi persoalan adalah, bagaimana melahirkan kecerdasan ide, dengan amunisi riset matang yang sudah dipunyai teman-teman. Akhirnya kita akan dihadapkan pada kemampuan untuk bertutur dengan gambar dan suara. Bagaimana merangkai komunikasi. Perangkat itu sudah banyak dipunyai. Ide berkomunikasi sudah ada. Namun ketrampilan untuk mengucapkannya seperti apa, sehingga menjadi sebuah percakapan yang menarik, intens dan personal, ini yang belum dipunyai.

Semoga ini menjadi bermanfaat

23 Agu 2007

Renita's Journey ( 1 )

Renita Ingin Warisan !

Saya baru saja bertemu Renita ! Ada beberapa hal yang menarik, ketika saya ingin membuat versi panjangnya. 25 tahun, ia tidak pernah pulang. Ke kampung kecil, di lereng gunung di kabupaten Donggala, Sulteng.

Renita kemudian bercerita banyak hal. Ia ingin menemui orangtuanya. Saya bertanya, jika sudah meninggal ? Renita menjawab, saya akan ke makam-nya. Kemudian, saya akan meminta pembagian warisan. Lo, Ren, yang berhak warisan kan laki-laki, bukan perempuan ? Saya akan menjadi laki-laki jika saya ingin meminta bagian warisan !

Renita mengungkapkan, akan ikut sholat Idulfitri nanti. Pada deretan -sab mana ? Mungkin laki-laki, mungkin perempuan.

Saya semakin penasaran !

21 Agu 2007

Renita's Journey

Mengawali Riset

Ternyata, ada hal yang melegakan. Membuat saya makin bergairah. Kenapa ? Penghargaan film Renita Renita sebagai The Best Short Film, di 9th Cinemanila International Film Festival 2007, membuat saya ingin segera membuat versi panjang film itu. Mungkin ini hanya alasan. Atau mungkin bukan juga. Sebagian teman memang menyarankan untuk segera dibuat dokumenter panjangnya. Namun, bukan hanya itu. Saya selama setahun belakangan ini, mencoba untuk mencari jalan keluar bagaimana film perjalanan Renita ke kampung halamannya yang sudah tertunda selama 25 tahun itu bisa diwujudkan.

Saya akan memulai riset lagi. Saya akan bertemu Renita lagi. Yang oleh teman Siwi, Renita sudah mempunyai profesi sambilan yang baru. Yang tak kalah unik. Yang pasti, saya akan mencoba membuktikan setelah sekian lama hanya berhubungan lewat telepon.

Mungkin, saya harus mengawali riset lagi. Ini film baru. Idenya, bisa jadi berbeda. Tetapi, proses mengerjakan dari ide , yang sekali lagi di riset akan sangat penuh tantangan. Saya memulai riset besuk pagi.

Produksi Selesai, Apalagi ?

Produksi, Transkrip lalu ?

Saya baru saja menyelesaikan sebuah video profil, tentang kabupaten Morowali, dengan Elida Tamalagi dan Popo. Ketika memasuki kota Palu, tiba-tiba ada tilpon dari peserta Eagle Award Competition 2007. Ia bertanya, tentang apa pentingnya transkrip dan pembuatan shoot report.

Saya mencoba menjelaskan, bahwa shoot report itu pekerjaan yang seringkali dilakukan oleh pembuat dokumenter manakala selesai shooting di lapangan. Artinya, pembuat film dokumenter harus menulis semua isi kaset, dan membuat draft gambar apa saja yang sudah direkam pada setiap kaset.

Juga, kerja standar pembuat film adalah membuat transkrip wawancara dari subyek-subyek yang diwawancarai dalam film. Pentingnya, kita akan mengetahui secara detail apa yang dikatakan oleh subyek kita. Sebab, dengan demikian, kita akan bisa menyusun struktur editing script sebagai tahapan berikut yang akan dikerjakan dalam pembuatan film dokumenter.

Hal ini saya ungkapkan, karena, mungkin karena sudah kerja keras dan merasa capek, sang teman ini mencoba menawar untuk tidak mengerjakan shoo report dan transkrip wawancara yang memang ia prediksikan tidak terpakai.

Dalam dokumenter semuanya akan menjadi mungkin. Kita memang tidak bisa memastikan, bahwa tidak akan ada perubahan. Faktanya, banyak pembuat dokumenter akhirnya harus mencoba membongkar pasang tanpa pernah ia prediksikan sebelumnya. Baik itu pada tahapan produksi, ataupun paska produksi sekalipun.

18 Agu 2007

Renita Renita Best Short Film !

Renita Renita MENANG !
di 9th Cinemanila International Film Festival 2007

http://www.cinemanila.org.ph/2007/03schedule.html


ASEAN COMPETITION
Best Short Film: Renita Renita, by Tonny Trimarsanto, Indonesia
Best Feature Film: Mukhsin, by Yasmin Ahmad, Malaysia

DIGITAL LOKAL COMPETITION
Best Short Film: The Calling, by Christopher Gozum
Ishmael Bernal Award for Young Cinema: Delusions,
by Ernest Michael Manalastas

Best Director: Raya Martin, Autohystoria
Grand Jury Prize: Voice, Tilted Screens and Extended Scenes
of Loneliness: Filipinos on High Definition,
by John Torres

INTERNATIONAL COMPETITION
Best Short Film: Waiting Time, by Chul Jung, South Korea
Best Documentary: Neo-Lounge,
by Joanna Vasquez Arong, Philippines
Best Actor: Cast of Tribu, Tribu, Philippines
Lino Brocka Award: The Edge of Heaven,
by Faith Akin, Germany/Turkey

9 Agu 2007

Maaf, Saya anak Belanda Betawi

Konon, menjadi pembuat film itu hanya bermodal harapan !
Dari liputan media semacam ini kadang membuat orang bertanya tentang sebuah film akan selesai dikerjakan. Berharap, mungkin juga semua pembuat film dokumenter pernah mengalaminya.


www.bisnis.com

Kamis, 11/05/2006 16:49 WIB
Maaf, Saya anak Belanda Betawi
oleh : Erwin Nurdin

JAKARTA (Bisnis): Buku setebal 276 halaman ini dengan mengalir menceritakan pengalaman Pans Schomper, selama 20 tahun hidup di zaman Hindia Belanda. Semula kehidupan yang dialaminya sangat indah, tetapi tiba-tiba berubah menjadi malapetaka saat Jepang masuk ke Indonesia dan perang dunia kedua meletus.

Pans Schomper lahir pada tanggal 27 Oktober 1926 di rumah sakit Carolus di Batavia, Hindia Belanda. Ibunya A.M. Bruyns dan ayah L.C. Schomper memiliki hotel dan restoran di Jakarta, Bandung dan Lembang. Baik ayah maupun ibu, masing-masing beremigrasi tahun 1918 dari Belanda ke Hindia.

Penulis memulai kisahnya dari Batavia, tanah kelahirannya. Kemudian dengan sangat menarik dan lancar Pans menceritakan detil-detil masa kecil di Batavia, lalu pindah ke Lembang dan terakhir saat-saat indah di Bandung.

"Saya dilahirkan pada saat Belanda masih menduduki Indonesia dimana kehidupan masa kecil dan muda yang penuh kebahagiaan saya nikmati. Sampai tiba saatnya Perang Dunia kedua berkobar. Datangnya serbuan Jepang, pengalaman di kamp konsentrasi Jepang yang penuh derita, kemudian diikuti serbuan para pejuang kemerdekaan Indonesia dimasa periode Bersiap dan akhirnya para pejuang berhasil meraih kemerdekaan," tulis Pans mengawali ceritanya.

Pans melanjutkan, "pekik Merdeka bergema di seluruh pelosok Nusantara, sampai akhirnya dengan berat hati saya harus meninggalkan tanah kelahiran menuju negeri Belanda yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya".

Hidup Pans masa kecil memang enak. Di Batavia --Jakarta-- keluarga Schomper memiliki hotel bernama Hotel Schomper yang terletak di Jalan Menteng. Hotel ini pada masa itu merupakan hotel terbaik, setelah masa kemerdekaan hotel itu berubah menjadi museum kini dikenal sebagai Gedung Joang 1945. Keluarga Pans juga memiliki hotel di Lembang bernama Hotel Montagne dan Hotel du Pavillon di Jalan Naripan Bandung.

"Aku diberi nama Frans oleh ayahku, kemudian nama ini berubah menjadi Pans --panggilan akrabku-- karena orang pribumi sulit mengucapkan huruf f. Mulanya Sinyo Prans, tetapi kemudian berubah menjadi Pans untuk seterusnya sampai sekarang," ujar Pans bernostalgia, ketika berkunjung ke Indonesia baru-baru-baru ini dalam usianya kini menuju 80 tahun.

Dalam buku ini, Pans menceritakannya dengan menarik kisah saat masa kecil dan masa dimana dia harus bertahan untuk tetap hidup dikamp konsentrasi Jepang. Pans menuliskan kejadian-kejadian dan peristiwa yang dialami selama 20 tahun di Indonesia, terutama masa kecilnya di Batavia, Bandung dan Lembang. Kemudian masa pendudukan Jepang, saat-saat yang tidak bisa dilupakangan penderitaan panjang di kamp konsentrasi Jepang dan masa perjuangan.

Berbagai peristiwa itu, dituturkan dengan bahasa yang sederhana tetapi mengalir, penulis menceritakan kehidupan masa kecilnya pada pra perang Hindia Belanda dan sebagai penghuni kamp konsentrasi Jepang. Pans Schompers mengungkapkan kejujuran hatinya sesuai dengan apa yang dia alami.

Kisah hidup penulis diungkapkannya secara jujur, apa adanya tidak ditambah atau dikurangi, kadang sedikit menyerempet resiko. Buku Schomper dapat dikategorikan baik dan mengalir dalam cara pengungkapan cerita.

Karenanya tidak berlebihan kalau Benny Soebardja, pemusik yang diminta komertarnya mengenai buku ini mengatakan kisah yang ditulis Pans menarik untuk dibaca terutama oleh generasi yang tidak mengalami penderitaan zaman itu. Hubungan manusiawi antara Pans dan sopirnya Enoh, misalnya, sangat menyentuh, penuh ketulusan, kesetiakawanan dan kejujuran.

Merasa lahir di Betawi Batavia, meski secara kewarganegaraan dan fisik dirinya Belanda, Pans Schomper menjuduli bukunya untuk edisi terbarunya: Maaf, Saya Anak Belanda Betawi. Buku ini sudah diterjemahkan kedalam lima bahasa yakni Indonesia, Inggris, Spanyol, Jerman dan Jepang dari bahasa aslinya Belanda. Semula buku ini berjudul Selamat Tinggal Hindia, Janjinya pedagang telur.

Kini di usia senjanya menjelang 80 tahun, bersama anak-anaknya Pans masih rajin dan rutin datang ke tanah kelahiran Batavia melakukan kunjungan kultural ke Indonesia.

Pans sekarang sedang mempersiapkan memproduksi film semi dokumenter dari otobiografi buku ini. Penulisan naskah film dikerjakan Anang Mardianto dan Agung Priyo Wibowo dan akan disutradarai oleh Tonny Trimarsanto, sutradara muda, energik yang banyak menghasilkan film dokumenter seperti Serambi.

6 Agu 2007

"City of Gold"

Selama lima hari ini hingga tanggal 11 agustus, saya menemani teman-teman, membuat film untuk Eagle Award Commpetition 2007. Dida dan Iwan, tepatnya sang finalis dari Kalimantan ini. Sudah beberapa hari memang, shooting berlangsung. Bingung, cemas, dan butuh kerja keras ! Begitu kalimat yang mereka sampaikan, ketika saya bertanya bagaimana menjadi pembuat film dokumenter itu.
Sekali lagi, membuat film memang tidak semudah apa yang telah ditulis oleh Fajar Nugroho, dalam bukunya "Cara Pintar Membuat Film Dokumenter". Dua teman tadi mengeluhkan bahwa apa yang dibayangkan dan didesainkan, dalam produksi film dokumenter, terkadang meleset. Maaf, ini kita tidak sedang membuat film fiksi, yang semua -nya bisa dihadirkan, didramatikan sesuai keinginan, atas nama sutradara sambil berteriak (baca: action... cut !).
Ketika cuaca tidak bersahabat, subyek tidak natural, subyek berubah pikiran. Maka, semuanya harus dikaji ulang.
Membuat film dokumenter memang butuh diplomasi. Kita punya ide, namun proses riset, menemukan sesuatu yang baru, mencari yang hilang dengan sikap arif, nampaknya dibutuhkan. Daya tahan dalam film dokumenter, bagi pembuatnya, lebih terletak pada kemampuan untuk mencoba memahami subyek, yang ketika tim Eagle Award 2007 ini datang, mereka sebenarnya tengah melakukan proses yang rutin sebagai sebuah keseharian yang bersahaja. Kita juga bisa masuk dalam proses itu, tanpa perlu, kita sedang membuat film. Tanpa perlu menyatakan petisi : kami sutradara lokal yang mencoba menambil peran dalam kompetisi ilm dokumenter.

1 Agu 2007


SUARA PEMBARUAN DAILY
Catatan Festival Film Internasional Miami yang Ke-24
Che, Castro, dan Evo Morales
Inspirator Revolusi Sinema
Sineas Walter Salles, sempat membuat dunia terkejut beberapa tahun lalu. Ia mengemas sebuah karya yang lantas diapresiasi di kompetisi Cannes Film Festival, dengan film berjudul The Motorcycle Diaries. Sebuah film yang berangkat dari kisah nyata petualangan politik dan cinta dari Ernestto Che Guevara dan Alberto Granado. Film tersebut tak banyak memperoleh penghargaan. Namun yang pasti, mata dunia terbuka pada wajah revolusi Amerika Latin berkat film itu. Film itu bahkan mengilhami banyak sineas dunia untuk mengerjakan jejak sosok revolusioner yang ada di setiap negara. Lantas, seperti apa sesungguhnya wajah revolusioner Amerika Latin dalam karya film? Pertanyaan ini setidaknya terjawab ketika penulis mengunjungi 24th Miami International Film Festival, di Miami Florida Amerika belum lama ini. Wajah Amerika Latin terasa dominan dalam festival itu. Film-film Amerika Latin dengan sendirinya memasuki jantung dunia film, Hollywood. Revolusi itu dimulai dari pantai Selatan Amerika Serikat. Lebih dari 100 film dipertontonkan. Lebih dari 70.000 penonton, produser, profesional film dan distributor ambil bagian di dalamnya. 24th Miami International Film Festival, tak ubahnya jejak revolusi sinema. Gerakan revolusi itu dimulai, dengan menampilkan beragam jenis film yang sama sekali tak pernah dijumpai dalam kamus besar industri Hollywood. Upaya mendekonstruksi Hollywood pun terjadi. Jangan lupa, 24th Miami International Film Festival merupakan festival film yang cukup prestisius. Hal ini terbukti dari kategori kompetisi yang mereka bentuk. Ada kategori Dramatic Feature World Cinema Competition, Ibero American Cinema Competition, Documentary World-Ibero Cinema Competition, dan World-Ibero American Cinema Competition. Jangan kaget pula jika dari Negara dunia ketiga tema-tema marjinal, menjadi menu utama. Kreativitas mencipta bukan lagi pada kategorisasi industri film skala besar. Pilihan tema yang unik, kuat, mampu menginspirasi banyak orang, justru banyak dipertontonkan. Pencapaian yang dilakukan bukan dari bagaimana sineas dapat menghabiskan uang ratusan juta US Dollar. Atau berpromosi film layaknya menjual, memasarkan tisu kamar mandi. Justru semangat itu tak dijumpai. Segenap keterbatasan, justru menjadi sebuah triggering factor untuk merayakan revolusi. Maka, film-film yang masuk dalam kompetisi adalah film dari negara Kuba, Paraguay, Brazil, Argentina, Brasil, Meksiko, dan Uruguay. Dari Asia, hanya diwakili tiga negara, yakni India, Japan dan Indonesia. Sementara dari Eropa, ada karya-karya sutradara Polandia, German, Spanyol, Prancis, Belgia, Skotlandia dan Swedia namun masih menyangkut isu-isu sensitif negara dunia ketiga. Sebuah tema yang sama sekali sulit untuk dijumpai dari industri film besar. Ada beberapa ciri film-film dari Amerika Latin. Pertama, menyangkut keterbatasan dana. Mayoritas film yang mereka produksi adalah film dengan system grant. Mencari donator yang tidak mengikat dan mengatur. Pinjaman dalam membuat film didapat dengan cara menjual proses produksi film itu sendiri. Misalnya, mereka mau menerima grant untuk sekadar membuat, mematangkan script ataupun memperdalam visual riset film. Ada yang meminta dana dari banyak founding khusus untuk mendanai proses produksi lapangan, atau sampai pascaproduksi. Sangat masuk akal, jika keterbatasan ini memaksa sineasnya baru bisa menyelesaikan sebuah film dalam waktu empat hingga sembilan tahun. Sineasnya terkadang tak mau ambil pusing kapan filmnya selesai. Mereka semangat mengumpulkan dana dengan jalan mengerjakan proyek komersil yang lantas penghasilanya dipakai menutup kekurangan biaya produksi. Kedua, pola distribusi yang memang masih menggunakan cara-cara bergerilya. Maaf, mayoritas film yang masuk dalam festival, tidak mempunyai jalur distribusi yang menggurita. Semangat Pemberontakan Amerika Latin, ketika divisualkan mempunyai ciri sensualitas yang khas. Baik itu secara tematik, ataupun dimensi artistiknya. Beberapa film memang mencoba menghadirkan sebuah suasana yang revolusioner. Film Cocalero misalnya. Film yang disutradarai oleh Alejandro Landes, dari Bolivia ini, secara utuh memotret apa yang dilakukan oleh Evo Morales ketika masih kampanye mencalonkan diri menjadi presiden, sampai pada kemenangannya. Two Homeland Cuba and The Nights karya Christian Lefter, juga menghadirkan kebijakan pemerintahan Kuba terhadap gay dan transeksual. Sekalipun film ini terasa menjemukan, penonton seolah diajak bertamasya ke negeri Fidel Castro. Castro sebagai ikon perlawanan, ternyata menjadi satu inspirasi bagi pembuatan film ini. Bahkan sosok revolusioner Amerika Latin, juga dengan mudah dijumpai dari film-film seperti The Railroad Allstar dari Guetemala, karya Chema Rodriguez, The Dog Pound karya Nieto Zas dari Uruguay, The 12 Labour dari sutradara Ricardo Ellias. Pilihan tema-tema sensitif juga begitu transparan hadir di sini. Misalnya, dari kategori Documentary World-Ibero Cinema Competition, kita dapat melihat pahitnya menjadi seorang pemenang, dalam film Septeimbers, karta Carles Bosch, yang akhirnya memperoleh penghargaan Special Jury Prize. Dalam film dokumenter panjang ini, dikisahkan sebuah kompetisi menyanyi antarnarapidana, layaknya Indonesian Idol atau American Idol. Perbedaannya terletak pada suasana pengambilan gambar. Film itu penuh dengan suasana penjara. Tonny Trimarsanto, sutradara film "Renita, Renita"
FESTIVAL FILM PENDEK KONFIDEN 2007

jakarta 17-24 november 2007 kompetisi nasional
fiksi dan dokumenter durasi maksimal 30 menit
pendaftaran ditutup 15 September 2007
download formulir pendaftaran: www.konfiden.or.id
e-mail: festival@konfiden.or.id

contact: sdri. T. Lintang G. / Yayasan Konfiden
Jl. Cilandak Bawah V No. 55, Jakarta 12430 Tel. +6221 7651722 Fax. +6221 7510690

Catatan JAFF 2007

Jogja Asia NETPAC Film Festival 2007,
Kultur Film Itu Berproses !



Nadine Zaidan, 25 tahun menulis kenangan, kegundahan dan kebingungannya dalam sebuah buku harian. Ia terus bertanya. “Kenapa perang terus terjadi ? Kenapa aku tak sempat mengenal ayahku, yang seorang pejuang dan mati muda ? Kenapa kita tidak bisa sepakat untuk bisa menentukan masa depan bangsa ini bersama-sama ? “
Inilah kegundahan yang sebenarnya ingin dibangun oleh Mai Masri, lewat tokoh Nadine Zaidan, dalam film “Beirut Diaries”. Kamera seakan mengungkapkan kegelisahan sutradaranya, dalam diri aktivis perempuan yang mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang terus menerus membayanginya. Dengan teknik yang sederhana, sutradara perempuan Libanon ini, mencoba mengupas makna sebuah kenangan. Dan siapapun tak akan bisa membunuh kenangan. Kenangan, yang menjadi milik warga Libanon. Bahwa sebagian besar generasi mudanya tumbuh dan hidup dalam suasana krisis dan konflik. Mereka tidak saja gelisah. “Kita tak akan tahu masa depan “. Inilah ungkapan kegelisahan terbesar dari film yang pernah diputar di 20th Singapore International Film Festival tahun lalu ini.
Dengan pendekatan yang sederhana, film dokumenter ini mencoba untuk mengemas segenap peristiwa-peristiwa, yang kian membuat masa depan Libanon sendiri menemui jalan buntu. “Truth, Freedom, and Nation Unity”, sebuah slogan yang terus menerus dinarasikan dalam film. Dari tiga ungkapan itu saja, kaum muda Libanon, tak punya kesepakatan. Realitas ini tertangkap dari peristiwa perkelahian antar aktivis, debat antar mahasiswa Libanon, dan debat kusir antara penjual kopi keliling dan seorang kaya yang terus berkampanye dengan mobilnya.
Fase krisis, memang masa penuh mimpi. Ia juga mengandungi, kecemasan yang luar biasa. Dan harapan, yang terus memaksa siapapun untuk berlari mengejarnya. Dari film “Beirut Diaries”, krisis menjadi sesuatu yang magis. Dalam wilayah media apapun, konflik dan krisis, setidaknya menyimpan daya magis yang memesona untuk dikemas dalam sebuah tampilan. Siapapun, akan bisa mengenangnya.

***
Film “Beirut Diaries”, adalah salah satu film yang cukup memesona, di 2th
Jogjakarta Asia Netpac Film Festival. Beberapa film lain, memang cukup punya daya pikat juga. Bisa dilihat dari film “Losing Ahmad”, karya Abdullah Baushahri, Kuwait. Film documenter panjang yang mencoba mengisahklan seorang anak Irak, yang menjadi korban dari perang besar Amerika –Irak. Dengan kepiawaiannya, sutradara menggunakan si anak yang bernama Ahmad Syarif, sebagai sebuah kendaraan diplomasi politik tingkat tinggi Amerika Serikat. Film yang memperoleh penghargaan internasional ini, sangat personal sebagai sebuah karya.
Ada lagi film yang cukup mengangetkan. Judulnya “Akira’s Boys”, karya James Leong dan Lynn Lee. Film ini menyodorkan kisah yang tidak biasa. Dalam bangun bentuk dokumenter, film “Akira’s Boys” dengan seting Kamboja, mencoba mengajak penonton pada sebuah petualangan riil yang : mendebarkan, sekaligus memilukan. Tak pernah terbayangkan, bahwa ada begitu banyak manusia, yang menjadi korban dari sisa-sisa ranjau yang ditanam di dalam tanah. Apa yang bisa kita rasakan ketika anak kita –tanpa sengaja- menginjak ranjau yang masih aktif tertanam di tanah ? Apa yang bisa dikatakan, ketika anak kita lantas kehilangan tangan, kaki, dan menjadi cacat permanent setelah tanpa sengaja menginjak ranjau-ranjau sisa perang tidak dibersihkan ?
Dari menit-ke menit, ketegangan memang terbangun dari film “Akira’s Boys”. Bagaimana seorang anak yang cacat, berusaha untuk mencoba tetap mampu berkelahi ala “wrestrling” dengan satu tangannya. Atau, adegan menjinakan puluhan ranjau yang masih aktif, akan membuat penonton untuk mengkalkulasi betapa besar resiko adegan riil itu. Betapa besar resiko yang harus ditanggung oleh pembuat film.

***
Setiap festival, memang mempunyai nilai konstruktif. Kita mengenal banyak festival di dunia, ataupun skala nasional, yang memang mempunyai eksistensi, pola dan peran yang berbeda. JAFF, akan menjadi satu tempat, ketika banyak kalangan melihat data estetik-statistik dunia film. Baik film nasional, ataupun film-film asing. Bisa jadi, JAFF melakukan dekonstruksi, bahwa festival, sekali lagi, bisa dimanapun. Tidak perlu di pusat (baca:ibukota, baca lagi : Jakarta !)
Bagi penikmat film di Jogja, paling tidak JAFF bukan sekadar hitungan tentang data kuantitatif. Siapa saja sutradaranya dan seperti apa karyanya. Kita harus berpikir lebih riil bahwa, untuk saat ini, ada begitu banyak komunitas film. Bukan hanya komunitas film yang hanya di Jakarta. Wilayah-wilayah lain seperti, Malang, Yogyakarta, Semarang, Jember, ataupun Surabaya, Padang dan Makasar, sejauh ini justru lebih punya daya penciptaan yang produktif.
Dalam sebuah perbincangan dengan penulis, Philip Cheah, curator festival JAFF ini mengungkapkan bahwa festival ini berprospek dan penuh harapan. Lalu saya Tanya kenapa ? Dia mengakui bahwa, dengan segenap keterbatasan, ternyata respon luar biasa telah diberikan oleh pembuat film tingkat grassroot, tidak mainstream ! Lalu, saya Tanya lagi kenapa bisa demikian ? Anda sudah membuktikan dan melihatnya sekarang.
Sekali lagi, saya mencoba mendefinisikan tentang makna sebuah komunitas film di Indonesia. Ya mereka adalah sekumpulan anak muda, tanpa akses pasar dan mencoba membentuk jalannya sendiri. Ada upaya untuk menumbuhkan kultur film. Ada upaya untukm mencoba mencintai produk antar mereka, yang mereka hasilkan. Ada sebuah upaya sharing. Proses panjang, yang memang tengah dilakukan.
Jujur saja, dunia sinema memang tak lepas dari sebuah krisis. Harus disadari bahwa, eforia memproduksi film komersiil itu hanya ada di ibukota. Upaya membangun kultur dengan pasar komersiil memang tengah juga dilakukan lewat karya karya sineas ibukota. Seharusnya, perbincangan sinema Indonesia tidak hanya berwajah Jakarta. Memang ada, komunitas film yang berada di pinggiran yang secara kerja keras tengah berproses, membentuk ruang, jaringan, dan produktivitas.
Proses pembentukan kultur itu butuh waktu. Saya jadi ingat kegelisahan dari seorang Emanuel Subangun ( dalam diskusi Sinema Kesaksian JAFF yang saya moderatori ), ketika menyatakan bahwa mayoritas film kita adalah gambar yang dihidup-hidupkan. Ia tidak mempunyai virtual art, katanya. Saya sendiri menjadi bingung. Maaf Pak Imanuel, kita tidak sedang berada di Eropa. Ini : Indonesia ! Kita memang baru mencoba untuk melahirkan kultur itu. Tingkat kegelisahan, pencapaian dan kemapanan yang berbeda. Dan, tidak masuk manakala kita harus membanding-bandingkannya.
Yang pasti, tengah ada kesadaran. Kesadaran untuk menciptakan kultur film. Mencoba mencintai, mungkin butuh proses. ****

Tonny Trimarsanto,
LA Lights Indie Movie :
Film Gue, Cara Gue


Atas dasar semangat yang ditunjukkan komunitas indie di Indonesia, LA Lights menggelar LA Lights Indie Movie "Film Gue, Cara Gue" dengan program acara workshop & meet the directors di 4 kota besar. Jadwal Workshop dan Meet the Directors :

1. Jakarta, 14 - 15 Juli 2007 di Blitz Megaplex Grand Indonesia. Pembicara Workshop : Joko Anwar, Salman Aristo, Anchalee Chaiworaporn ( Thailand )

2. Bandung, 21 Juli 2007 di Blitz Megaplex dan 22 Juli 2007 di Selasar Sunaryo. Pembicara Workshop : Monty Tiwa, John Tores ( Philippines, Garin Nugroho

3. Surabaya, 28 - 29 Juli 2007, di Graha Pena. Pembicara Workshop : Tonny Trimarsanto, Gotot Prakosa, Lulu Ratna.

4. Yogyakarta, 8 - 9 Agustus 2007, di Taman Budaya, Gedung Societet Pembicara Workshop : Garin Nugroho, Edwin, Adrian Martin (Australia)

Sedangkan untuk Meet the Directors, bersama : Garin Nugroho, Wulan Guritno, John de Rantau dan Hanung Bramantyo. (lily)

Majalah GONG
Majalah Kesenian Indonesia

Estetika Tanpa Batas Cannes FIlm Festival


Oleh Tonny Trimarsanto,
Sutradara Film “Serambi”

Beberapa waktu lalu, saya ke Festival Film Cannes ke 59 (FFC) Prancis, yang punya gengsi dan prestisius. Saya menjadi tamu khusus, lantaran film saya Serambi masuk ke dalam kompetisi seleksi Un Certain Regard, bersama 23 kompetitor lainnya. Film yang saya garap bersama tiga sutradara Indonesia lainnya (Garin Nugroho, Lianto Luseno, Viva Westi) ini, terasa sangat spesial, sebab hanya tiga negara Asia saja yang bisa masuk ke kompetisi ini. Dua lainnya, Cina (Luxury Car) dan Korea (Unforgiven). Film Luxury Cars sendiri akhirnya meraih penghargaan untuk kategori ini
Sebagai sebuah festival, tentu FFC punya peran penting dalam membangun opini film global. Kita tahu, bahwa ada festival film bergengsi yang pada akhirnya akan memengaruhi pengambilan kebijakan di perhelatan Oscar, yakni FFC, Berlin Film Festival, serta forum Golden Globe. Sejarah mencatat bahwa FFC lahir sebagai sebuah festival, karena kondisi dan untuk kepentingan politik pasca perang dunia. Tak banyak yang menyangkal bahwa dalam perjalanannya, FFC mampu memberikan nilai politik sebuah film, dari karya-karya yang memperoleh penghargaan Palm O’dor, Camera O’dor, ataupun Un Certain Regard Award.

Ketika hadir dalam pesta FFC, saya cukup kaget. Bagi saya ini kali pertama saya menemui festival film yang memang benar-benar tergarap secara rapi dan profesional. Sebuah festival yang memang punya daya tarik tinggi. Asumsinya, film telah menjadi produk dagang dengan nilai jual yang begitu tinggi. Ada aspek komersil yang memang ada dalam tubuh film. Nampaknya, pelaku industri hiburan memang benar-benar melihat bahwa FFC adalah tempat paling strategis untuk menawarkan ide pengembangan, produksi, dan distribusi.

Layaknya sebuah pasar, maka bisa dibayangkan, di dalamnya akan banyak terjadi dinamika. Artinya, akan ada penawaran, transaksi, dan jual-beli. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa dalam FFC akan terjadi transaksi dengan akumulasi nilai ekonomi tinggi. Dari sinilah gairah kerja pembuat film, pemilik modal, dan distributor mencoba membaca segenap peluang yang ada.

***

FFC ke-59 adalah tempat paling strategis untuk bisa mempromosikan sejumlah film dari raksasa industri Eropa ataupun Hollywood. Jangan lupa pula, raksasa industri Cina dan Bollywood tak mau ketinggalan dalam menjual beragam jenis filmnya. Sekadar contoh, film-film produksi Hollywood terbaru, seperti Da Vinci Code, dengan actor Tom Hanks dipromosikan secara besar-besaran di sini. Atau film karya Sofia Coppola, dengan Maria Antoniette yang dibintangi oleh aktris Kirsten Dunst mencoba mengadu untung di Competition sekalipun banyak dicemooh penonton.

Sejumlah film Hollywood lain dengan biaya besar dan bintang tenar seperti film X –Men III, Miami Vice, Rambo IV, Superman Returns, juga dijajakan di sini. Semuanya dijual ke pasar film. Dikenalkan agar opini publik bisa terbentuk sejak awal. Sebuah strategi jitu dan langkah standar yang acapkali dilakukan oleh studio-studio besar manakala ingin menjual beragam jenis filmnya.

Film-film yang menang di FFC ke 59 inipun akan memperoleh jalan mulus ketika dipasarkan ke segenap penjuru dunia. Langkah sukses jelas sudah di depan mata untuk film yang menang, seperti The Wind That Shakes The Barley (Ken Loach, Palm D’or), Flanders (Bruno Dummont), Volver (Pedro Almodovar, best Actrees: Penelope Cruz), Babel (Alejandro Innaritu best Director), Red Road (Andrea Arnold, Camera D’ior) ataupun Luxury Cars (Wang Chao, Un Certain Regard). Alhasil, dengan mudah akan banyak pasar yang ingin menampungnya.

Selain itu, yang lebih menarik lagi adalah banyak negara dunia yang membuka ruang-ruang khusus dalam mempromosikan film negaranya. Ketika saya berjalan di Market du Cannes, banyak negara yang mungkin sangat sulit saya jumpai di peta dunia berani mengontrak satu ruangan khusus untuk mempromosikan filmnya. Untuk Asia, negara India, Korea, Hongkong, Singapura, Cina, Jepang, dan Thailand begitu mencolok dengan rumah tenda promosi filmnya.

Tampaknya sistem politik pada akhirnya akan berpengaruh besar pada peta perfilman global itu sendiri. Dalam pesta Cannes, terungkap bahwa Hollywood dan raksasa industri film Cina, mampu mencakarkan opini besar dalam dunia hiburan. Bahkan, sangat tidak mungkin untuk bisa menandingi kekuatan yang mereka punyai. Ini berarti, opini publik global tentang industri film sesungguhnya terletak pada kemampuan mereka dalam membangun opini. Gencarnya promosi film Hollywood dan film Cina begitu dominan.

Perjalanan film-film negara kecil, bahkan yang lebih maju sekalipun tak mampu menandingi Cina dan Hollywood. Media-media massa berpengaruh seperti Variety ataupun Hollywood Reporter serta Premiere Magazine, tak lepas dari ulasan dua kekuatan yang berpengaruh tersebut. Sekadar catatan, harian hiburan berpengaruh global tersebut, selama FFC berlangsung, dibagikan secara gratis. Dalam ulasan untuk edisi hariannya, mereka senantiasa menulis film-film produksi terbaru industri Hollywood dan Cina.

***

Setiap festival memang mempunyai keunikan tersendiri. Yang jelas, setiap festival akan mengakomodasikan banyak hal dan elemen. Festival-festival besar akan tampil sebagai tempat untuk melakukan eksebisi film, menelaah unsur estetik, dan menjadi tempat untuk melakukan fund rising untuk banyak produksi film. Bahkan yang lebih penting lagi, setiap festival akan menjadi momentum bagi para produser film untuk menjajaki kemana film yang sudah selesai dibuat akan dipasarkan.

Memasarkan film adalah bagian penting dalam produksi film itu sendiri. Keluhan-keluhan bahwa film tidak laku yang acapkali dilontarkan oleh pembuat dan produser film kita memang masuk akal. Sangat rasional, karena mereka terkadang melupakan bagaimana memasarkan sebuah film. Mencipta dan memasarkan adalah dua hal yang tak bisa dilepaskan. Tidak mengherankan jika banyak produser dan sutradara film dari luar negeri seringkali melihat sebuah festival sebagai tempat strategis untuk memasarkan film.

FFC telah menjadi menara politis tertinggi bagi sebuah film. Setiap sutradara yang filmnya masuk ke kompetisi film ini akan memperoleh pengakuan artistik internasional.

Jangan lewatkan screenDocs! di Perpustakaan Diknas
3 Agustus 2007 pkl. 18.30 WIB
LENNY SUGIHARTO (Yayasan Srikandi Sejati) :
“Tak satupun manusia dilahirkan kedunia ini dgn keterbatasan/kekurangan, apalagi menghendaki lahir sebagai seorang waria. Namun pepatah mengatakan tak kenal maka tak sayang. Untuk itu cobalah anda peduli dan kenali kami, maka akan banyak imajinasi yang akan terlihat. Dan yang perlu dipahami jangan melihat waria dari penampilannya saja, melainkan dilihat dari hati nurani juga. Kalau kami dilihat dari sebelah mata, maka akan terlihat ketidakseimbangan sosial yang mengakibatkan pemahaman yang bervariatif.“
MARIANA AMIRUDDIN (Yayasan Jurnal Perempuan) :
“Mungkin selama ini kita lupa bahwa manusia memang diciptakan berbeda, tetapi Tuhan ternyata membuatnya lebih beragam. Waria sumber daya manusia bangsa ini juga. Sebagai warga negara, mereka seharusnya diperlakukan sama."
Sesungguhnya, apa makna dan pesan yang terkandung dalam kutipan di atas?? Guna lebih jelas, simak film dokumenter :
Renita Renita
Tonny Trimarsanto
Indonesia - 2005 - 16 min
Sinopsis:
Bukan laki-laki, bukan perempuan, tetapi transseksual. Meski apa yang mereka lakukan adalah pilihan gaya hidup mereka sendiri, mereka perlahan-lahan menyimpang dari kehidupan yang seharusnya. Realita memojokkan mereka pada prostitusi, dan prostitusi memojokkan mereka pada ujung yang lebih jauh. Sebuah dokumenter yang juga memberikan gambaran tentang situasi domestik yang serius di Indonesia .
Not a man, not a woman, but a transsexual. Although all what they did was to choose their own lifestyles, they gradually deviate from decent lives. The reality corners them to prostitutions, and prostitutions corner them to further edges. A documentary that also depicts serious domestic situations of Indonesia .
Jumat 3 Agustus 2007
18.30 WIB
Perpustakaan Diknas (Library @ Diknas)
Dept. Pendidikan Nasional
Jl. Jend. Sudirman, Jakarta Pusat

Selepas pemutaran film akan ada diskusi bertema :
Keberadaan Waria di Masyarakat
bersama :
LENNY SUGIHARTO (Yayasan Srikandi Sejati)
MARIANA AMIRUDDIN, M.Hum (Yayasan Jurnal Perempuan)
Dipandu :
YOS RIZAL (Redaktur Bidang Seni TEMPO)
Catat di agenda Anda sekarang!
Film pembuka :
Joki Kecil
(The Winner of Eagle Award ’05)
Yuli Andari M & Anton Susilo
Indonesia – 2005 - 20 min
Pacuan kuda adalah tradisi rakyat yang populer di Sumbawa . Para pengendara kuda adalah anak-anak yang nasibnya tidak sebagus para pemilik kuda. Joki kecil harus menaiki kuda liar tanpa peralatan keamanan yang memadai dengan imbalan yang tidak seberapa. Orang-orang yang berperan dalam pacuan kuda ini, ikut andil dalam arena kemenangan, kebanggaan, perjudian dan kepedihan.
Zero Tolerance
Tommy Anderson dan T.J. Caudill, Heather Niece
USA – 2006 - 10 min
Zero Tolerance mengikuti kisah tiga anak muda: seorang pelajar dari Letcher Country, KY, yang memasang poster yang dianggap tidak sopan oleh pihak sekolah, dan dua orang pelajar yang memulai Gay Straight Alliance di sekolahnya. Ketiga pelajar tersebut berakhir dengan dikeluarkan dari sekolah. Zero Tolerance menggunakan contoh kasus ini untuk menggambarkan bagaimana kebebasan berekspresi di sekolah dan kebijakan “toleransi nol” bisa berjalan bersamaan.
Banjo Pickin’ Girl
Machlyn Blair, Stacie Sexton dan Halley Watts
USA – 2004 – 13 min
Mengangkat kisah gadis muda dari Kentucky Timur yang berjuang menghadapi kematian ayahnya dan tekanan untuk terus membawa warisan musik lokal dan tradisi keluarganya.
NB.
Terima kasih bagi Anda yang telah membaca dan bersedia menyebarluaskan informasi ini.

Salam,
Sofie
In-Docs
Exhibition Coordinator
hp. 081399993292
tlp.021-31925113,31925115

IN PRODUCTION

Tsunami : Gift of Life
Sam Pek Engtai ( Kasih Tak Sampai )

Renita's Journey : Mangga Golek
Merdeka atoe Mati !
Operasi Subyektivitas

My Film

  • GERABAH PLASTIK (2002), ROEDJITO (2003), HELP SPECIES DYING (2003), THE DREAM LAND (2003), I LOST MY FOREST IN ONE MINUTES (2004), THE LAST FOREST (2004), I WILL (2004), HANNA RAMBE (2004), MOTHE'S TEARS (2004), SERAMBI (2005), OUR BELOVED MOTHER (2005), HUMAN TRAFFICKING (2006), RENITA RENITA (2006), IN SHADOW OF THE FLAG (2007), SAM PEK ENGTAI (Kasih Tak Sampai- in production)

Mengenai Saya

Klaten - Jakarta pulang-pergi, Indonesia
Saya film director, fasilitator workshop film dan penulis.