28 Agu 2007

Workshop FFD

Membaca Kerangka komunikasi

Beberapa hari ini, Kunz program director dari FFD tengah sibuk menyongsong pelaksanaan festival. Ia meminta masukan saya tentang workshop yang ideal macam apa, dan apa saja yang sebenarnya dibutuhkan oleh setiap pembuat film dokumenter . Encouraging Indonesian Documentary, dengan pemateri dari Belanda, Canada dan India.

Berikut pertanyaan yang diajukan oleh Kuntz, yang meminta masukan saya :
(1) workshop macam apa yang dibutuhkan oleh filmaker dokumenter saat ini ?
(2) materi macam apa yang mutlak diberikan kepada mereka sehingga bisa mendorong laju
perkembangan film dokumenter Indonesia ?
(3) hal yang paling dibutuhkan oleh pembuat dokumenter indonesia ?

membaca beberapa pertanyaan di atas, tentu workshop tersebut akan punya sebuah tujuan besar, dan mulia bagi penumbuhan pembuat dokumenter. Ketika membaca pertanyaan itu, saya mencoba memikirkannya :

(1)
memang, pengalaman saya ketika ke beberapa kota, ada satu pertanyaan bahwa yang dibutuhkan oleh pembuat film dokumenter adalah, sebuah workshop yang sederhana, artinya
membuat film dokumenter jangan dipahami dengan segenap kerumitan kerumitan dan narasi
yang besar betapa gagah-nya bisa membuat film dokumenter itu. Jalan tengahnya adalah, mencoba membangun pemahaman bahwa workshop yang ideal adalah memberikan
pemahaman dan pengetahuan yang sederhana dalam membuat film dokumenter. Arti
sederhana, adalah, ia sederhana dalam hal alat, sederhana dalam pembiayaan, sederhana
dalam sistem kerja. Dengan kata lain, siapapun bisa membuat film dokumenter. Membuat
film dokumenter akan menjadi sederhana, manakala ada pemahaman bahwa ada segenap
keterbatasan yang dipunyai oleh pembuat, atau calon pembuat film dokumenter. Kebayakan
workshop memang mencoba tampil eksklusif dengan lompatannya pada ide-ide yang lebih
dari sekadar bagaimana membuat film dokumenter dengan keterbatasan yang dipunyai.
Konsep sambil berjalan, sambil lalu namun tetap intens dan fokus pada apa yang dikerjakan,
sekalipun akan memakan waktu yang panjang, akan lebih tepat sebagai model pelatihan
workshop.


(2)
pertanyaan kedua terasa, berat, karena atas nama pembuat film dokumenter bangsa indonesia. Sebab, kita tidak bisa berkata dari pembuat film mana, dengan kepadatan komunitas setiap kota, wilayah atau yang mana. Perkembangan film dokumenter akan menjadi mempunyai progres target yang menakjubkan, jika ada pemahaman bahwa membuat film itu seperti seorang pengrajin tempe, yang dengan mudah dijumpai di pasar tradisional, sehingga siapapun bisa menikmatinya. Untuk menjadi pengrajin, tentu butuh produktivitas. Untuk menjadi produktif, tentu, ada keberanian untuk mencoba, bereksperimen, apapun itu hasil akhirnya. Sebagai tempe yang enak ketika sudah digoreng, atau "besem", tentu tak jadi soal. Yang paling penting adalah bagaimana melahirkan sebuah produktivitas. Ini menjadi mimpi asaya juga.

(3)
hal yang paling dibutuhkan oleh pembuat dokumenter adalah, bagaimana ia mampu mempunyai konstruksi bagaimana menuturkan ide dengan tool yang ia punyai. Kebanyakan dari kita terlahir sebagai penggagas film dengan ide-ide film yang luar biasa cerdasnya. Namun akhirya ia hanya mnjadi sebuah ide saja ketika dibuat menjadi film. Ide-ide yang menarik, itu komentarnya. Kebanyakan dari kita terlahir dengan sikap profesional yang luar biasa dalam hal data dan kemampuan dalam melakukan riset. Tetapi tidak pernah menjadi sebuah film dengan data kuat dan cara pandang yang matang. Yang menjadi persoalan adalah, bagaimana melahirkan kecerdasan ide, dengan amunisi riset matang yang sudah dipunyai teman-teman. Akhirnya kita akan dihadapkan pada kemampuan untuk bertutur dengan gambar dan suara. Bagaimana merangkai komunikasi. Perangkat itu sudah banyak dipunyai. Ide berkomunikasi sudah ada. Namun ketrampilan untuk mengucapkannya seperti apa, sehingga menjadi sebuah percakapan yang menarik, intens dan personal, ini yang belum dipunyai.

Semoga ini menjadi bermanfaat

Tidak ada komentar:

IN PRODUCTION

Tsunami : Gift of Life
Sam Pek Engtai ( Kasih Tak Sampai )

Renita's Journey : Mangga Golek
Merdeka atoe Mati !
Operasi Subyektivitas

My Film

  • GERABAH PLASTIK (2002), ROEDJITO (2003), HELP SPECIES DYING (2003), THE DREAM LAND (2003), I LOST MY FOREST IN ONE MINUTES (2004), THE LAST FOREST (2004), I WILL (2004), HANNA RAMBE (2004), MOTHE'S TEARS (2004), SERAMBI (2005), OUR BELOVED MOTHER (2005), HUMAN TRAFFICKING (2006), RENITA RENITA (2006), IN SHADOW OF THE FLAG (2007), SAM PEK ENGTAI (Kasih Tak Sampai- in production)

Mengenai Saya

Klaten - Jakarta pulang-pergi, Indonesia
Saya film director, fasilitator workshop film dan penulis.