17 Jul 2008

Dekat dan beruntung !

Kathy Huang, teman baru saja. Seorang sutradara perempuan, asiaamerica. Kini tengah mengerjakan film waria di Makasar. Jadi, dia begitu rajin sharing dengan saya tentang dunia waria itu. Pengakuannya, kenapa begitu sulit membangun sebuah kepercayaan dalam membuat film dokumenter. Selagi mematangkan idenya, Kathy mencoba untuk me -riset dan ngobrol dengan waria yang ada di Yogyakarta.

Ia kaget. Kenapa ? "Kenapa setiap waria yang saya ajak bicara selalu berkata, mana uang rokoknya ? Saya jawa : " Inilah Indonesia Raya " Sebuah cara pandang yang berbeda. Lasim atau tidak ? Etis atau tidak ? Sejujurnya bisa dikatakan bahwa otak kita siapapun, penuh dengan hunus hunus kepentingan yang bisa menghujam siapapun.

Pada satu sisi, waria melihat si pembuat film punya kepentingan dengan kisah saya atau waria pada umumnya. Pada sisi yang lain, pembuat film punya kepentingan untuk bisa menyimpan data kisah waria dalam otaknya.

Menjadi sebuah pertarungan yang mencekam. Dengan senjata yang terbuka, siap terhunus. Siapa korbannya. Pembuat film, atau subyeknya ? Mungkin perdebatan, klaim klaim eksploitasi, senantiasa membuat pembuat film di tepi jurang. Klaim klaim eksploitasi tanpa batas, terus menerus ada dalam benak siapapun.

Pertanyaan selanjutnya adalah, kenapa harus membuat film. Patutkah kita mengkambinghitamkan Lummiere bersaudara itu. Tidakah kesadaran, ingatan siapapun berpeluang untuk bisa ditransfer sebagai sebuah pengalaman baru bagi siapapun ? Adakah sisa kesadaran, bahwa ruang, waktu, peristiwa itu begitu terbatas dan akan hilang dengan cepat ?

Kathy dan Chris, sudah menonton edit kasar film Mangga Golek Matang di Pohon. Pertanyaannya sama. "Kenapa Anda tidak berjarak dengan Renita?" Saya sedang mendapat lotre ! Jawaban yang sangat tidak masuk akal. Namun saya selalu percaya pada sebuah keajaiban keajaiban dalam membuat film dokumenter. Dan keajaiban tidak bisa datang dengan begitu saja -dan cuma-cuma- tanpa sebuah kalkulasi matang di dalamnya.

Untuk film "Gerabah Plastik", tiga tahun saya setia menunggu, mendengar kisah kisah nan menyentuh dari seorang Mbah Hardjoikromo lalu saya filmkan dalam satu hari. Untuk film "The Dream Land" saya hanya 3 hari sebelum shooting sudah dilapangan, dan selalu sembunyi-sembunyi untuk bisa memperoleh kisah korban guna sebuah perayaan air mata.

Beruntung dan dekat dengan subyek, bisa jadi senjata. Tetapi, mungkin setiap pembuat film memang dilahirkan dengan bakat yang berbeda. Artinya, tidak semunyanya mempunyai senjata yang sangat lengkap untuk sebuah pertempuran. Saya hanya punya dua senjata. Kedekatan dan keberuntungan.

Kedekatan dan keberutungan, bukan sebuah wahyu. Tetapi, bisa dikalkulasi kapan kita bisa melahirkannya. Siapapun akan memperolehnya, tanpa pernah merasa bahwa membuat film itu seperti masuk dalam sebuah petualangan penuh tekanan, mengeksploitas dan ter-eksploitasi.


Dalam sebuah penjara

Sebulan yang lalu, film In The Shadow di screening. Beberapa orang memberi komentar. Ya namanya film pesanan... Tapi ada yang menarik, ketika seorang Chris Razukas, dari San Faransisco berkomentar. " FILM INI MEMBUAT SAYA SEPERTI TERPENJARA " Benarkah, penuh teror dan kecemasan ? Pikir saya. Lalu, Chris menonton "Mangga Golek Matang di pohon" yang masih rough cut. Komentarnya : "Film ini membuat saya keluar dari penjara, jika membandingkannya dengan In The Shadow of The Flag.

Akan ada yang membedakan, memang. Sebuah desain dokumenter pesanan dan bukan pesanan, pikir saya. Tetapi, dunia dokumenter memang akan senantiasa berisikan tarikan tarikan kepentingan yang penat.

Mungkin kita tidak bisa mengatakan bahwa, hal terpenting dalam film dokumenter adalah : pesan. Demikian sederhana. Tetapi tidak sesederhana bagaimana mengemas pesan itu sendiri. Pesan, dalam film dokumenter bisa berisikan apapun. Terkadang, kegelisahannya adalah bagaimana mengemasnya dalam cara tutur yang senantiasa baru penuh dengan penemuan penemuan.

Ketika dalam penjara, mungkin tak banyak hal. Tetapi, akan membuat siapapun bisa merasakannya.

16 Jun 2008

Riset diary

Muji, bagian Satu !

Tiga bulan ini, saya tengah mengumpulkan sebuah bahan. Bahan film tentang seorang pria yang mencintai, mengidolai pria. Awalnya saya kenal Muji, tiga tahun lalu di Bali. Sebuah pribadi yang unik, penuh kesan dan menarik. Beberapa kali ia bercerita, berekspresi tentang apa yang dialami dalam hari harinya.
Tiga tahun berselang, saya memutuskan ini menarik untuk menjadi ide film. Riset riset awal sudah saya lakukan. Hubungan terus terjadi. Namun, apa yang bisa dibayangkan, jika dalam satu bulan terakhir saya telah dikirimi tulisan tulisan pribadi, buku harian yang ditulis oleh Muji, dengan tekun. Sebanyak 83lembar buku harian yang ia kirimkan kepada saya. Tentu, ia seorang yang sabar dan tekun.
Bagi saya, mungkin ini proses pembelajaran baru. Kali ini saya mencoba melakukan eksplorasi dari sebuah perspektif baru dan menantang. Apa yang bisa kita bayangkan dari sebuah buku harian, puisi nan puitik yang ditulis oleh seseorang. Penuh perlawanan dan sangat emosional.
Ini penemuan baru dan pembelajaran baru, bahwa mengawali sebuah riset film ternyata bisa dari sebuah ruang ekspresi yang sangat personal.
Terimaksih Muji.

Rumahdokumenter

122 orang.

Apakah ini berkah dari baliho baliho besar 7 x 12 meter yang menjulang di titik titik pusat kota ? Namun sejumlah itu yang memberikan tandatangan di daftar hadir. Berkah ? Ajaib ? Yang pasti saya selalu menanti dan yakin pada keajaiban. Itu saja.
Seorang ibu datang kepada saya. "Mas dimana dijual film "Aku Ingin" itu ?" Saya kaget. Lalu kami ngobrol. Ternyata ibu ini ingin menyelesaikan S2 dan puisi puisi Sapardi adalah tesis yang ia kerjakan.
Seorang bapak, bernama Mulyono yang mungkin sudah 65 tahun, mencoba memberika tanggapan ketika diskusi. Ia teman SD, SMP, SMA dan kuliah dari Sapardi. Bapak ini menjelaskan bahwa ia mengetahui benar, pada saat seperti apa puisi puisi itu dilahirkan.
Mungkin, akhirnya bapak Mulyono dan ibu S2 itu akan makin akrab dengan ber-sharing tentang sebuah peristiwa yang terjadi di pemutaran awal dari program rutin bulanan RumahDokumenter.
Seorang Astri, ia relawan, tinggal di Bantul yang malam itu juga datang , tetap hingga saat ini mencoba untuk mengkoleksi film film sastra Lontar.
122 orang di program awal, kata beberapa orang, sebuah langkah yang membanggakan. Tentu, ini membanggakan.

3 Jun 2008

Baliho Dokumenter



Menjual Dokumenter dengan Pemasaran Rokok

Saya agak kaget. Seorang sponsor menawarkan diri untuk mempromosikan film dokumenter saya dengan gaya yang berbeda. RumahDokumenter dan Mataya, mencoba untuk mencari gaya baru dalam memasarkan film dokumenter, atau bentuk bentuk kesenian pada umumnya.

Selama ini, pengalamannya promosi film dokumenter tak begitu gencar. Promosinya hanya menyempil di sebuah ruang publik yang sempit, tak populer dan berkesan tak mempunyai dana promosi.

Lalu, apa yang akan terjadi manaka sebuah promosi acara dokumenter dikemas dalam baliho baliho besar di beberapa titik pusat kota ? Akankah mampu melahirkan sebuah gelombang animo besar ? Pertanyaan yang penuh teka teki dan belum tentu terjawab, nampaknya. Sungguh beruntung jika promosi film film dokumenter itu mempunyai ruang besar untuk bisa menyihir siapapun guna mengenal film dokumenter itu sendiri.

30 Mei 2008

J A G A L










J A G A L

Saya besar di kampung. Jagalan, namanya. Sejak kecil, saya mencoba mengartikan kata ini. J A G A L A N ! Adakah, ia tempat untuk menjagal ? Siapa yang dijagal ? Hewan, sapi-kah ? Tidak satupun, ruang rumah dikampungku ada kamar jagal sapi. Manusia, yang dijagal, barangkali. Lantaran, Jagalan kampungku lokasinya, dekat sebuah sungai yang besar, yang dulu, jernih airnya.

Saya jadi ingat, setiap kota mempunyai nama tempat Jagalan. Adakah ia memang mempunyai arti : tempat untuk menjagal ? Sapi . Manusia . Apa yang membedakan sapi dan manusia yang dijagal . Tidak sama sekali. Keduanya sama sama menjadi sayatan mata pisau di sisi sisi lekuk tubuhnya. Pisau pisau yang bisa menjagal, mungkin setiap lokasi, daerah akan berbeda beda nama dan bentuknya. Bisa jadi, ini akan mewakili semangat khas kebhinekaan dalam menjagal .

Prana, anak saya, sudah harus menghafalkan pisau pisau senjata khas dari berbagai daerah. Pisau senjata unik dari berbagai daerah, yang biasa di gunakan untuk menjagal, bertempur dan perang. Prana, harus hafal senjata khas kebinekaan yang nantinya akan ditanyakan dalam test pelajaran di kelasnya. Harus hafal luar kepala, jika ditanya. Untuk apakah ini dilakukan ? Tentu, dengan menghafal, akan lebih memudahkan dan memberikan keleluasaan kepada anak-anak kita sejak dini, kelak bisa dengan mudah menentukan alat jagal mana yang paling tepat untuk digunakan.

Lalu siapakah penjagal itu ? Apakah dia tentangga kita. Saudara kita. Orang asing. Akankah diri kita sendiri.

Ataukah juga dia Hitler. Pol Pot. George Bush. Sadam Hussein. Osama bin Laden. Slobodan Milosevic. Benarkah tokoh tokoh ini juga dilahirkan dikampung bernama Jagalan. Atau setidaknya mengerti arti kata : J A G A L .

( terimaksih perbincangan di jalan dengan mas Agung )

25 Mei 2008

ada hujan di bulan Juni



tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni, dirahasiakan rintik rindunya kepada pohon yang berbunga itu

Pemutaran dan Diskusi film "Aku Ingin"
Sabtu, 7 Juni 2008
Dusun Manahan, jl. Menteri Supeno 20 SOLO
Pembicara : Sosiawan Leak (penyair), Tonny Trimarsanto (sutradara film), Esha Kardus (moderator)


RumahDokumenter, akan memutar film "Aku Ingin", silakan datang untuk bisa berdiskusi dengan penyair Sosiawan Leak

22 Mei 2008

Renita Renita di Roma, Italia

Flavio Armores, kurator dari Turino GLBT Film Festival yang memutar film Renita Renita dua bulan lalu, memberi kabar saya. Ia memohon dengan sangat, untuk bisa memutar film saya, Renita Renita, di Roma International Film Festival Juli nanti. Katanya, programmer festival itu tertarik untuk memasukan film saya di program "Transexual Village". Tak apa, pikir saya.

Sekali lagi saya bisa belajar, dan tahu bagaimana mencoba menempatkan siapapun -pembuat dokumenter itu- pada sebuah altar yang agung. Sebuah wilayah yang terkadang, sulit untuk bisa dimiliki oleh penyelenggara festival kita (baca: festival film di INDONESIA). Sederhana, nampaknya. Terkadang saya pikir, bukankah memutar dan mencamtumkannya langsung tidak soal, bukankah saya di Indonesia dan festival itu di Roma Italia ? Langsung saja diputar, tanpa permisi kepada si pembuat ?

Saya tidak terjebak bahwa, penyelenggara film festival dari luar lebih baik. Bukan orang Barat itu lebih mulia. Bukan, bukan ini maksud saya. Orang bule juga banyak yang menyebalkan, demikian, bule itu tai kata Shamir kameramen kepada saya beberapa tahun lalu. Festival asing juga banyak bohong nya, demikian kata Andi Bachtiar Yusuf dalam imel nya kepada saya.

Yang justru saya pikirkan, soal tersisanya sebuah ruang dalam diri kita, untuk belajar. Belajar menghargai. Belajar untuk menempatkan pada sebuah altar itu. Siapapun dia.


11 Mei 2008

Permohonan Maaf, teman !

(1)
saya sesungguhnya, bukan pembuat dokumenter yang pelit, untuk dimintai film untuk bisa dikopi atau dibajak sekalipun untuk tujuan pribadi, untuk festival atau untuk sekadar diputar dimanapun dalam acara apapun. Namun, kali ini, dengan jujur dan berat hati saya terpaksa membatalkan film -film saya untuk diputar di Festival Film Purbalingga. Langkah tidak memberi ijin ini saya lakukan, sudah saya pertimbangkan dengan sepenuh hati, dan dengan berat sebenarnya. Saya mengapresiasi sebuah pertumbuhan produktif. Saya sangat menyesalkan tindakan yang mengkopi film tanpa ijin. Ijin sutradaranya, alias pembuatnya. Saya tidak ingin bola panas dilemparkan ke pihak pihak yang sesungguhnya tidak berhak sama sekalipun untuk bisa memberikan film kepada siapapun, tanpa pernah memberitahu saya. Saya harap bola panas itu menjadi berhenti.

(2)
sudah saatnya kita mencoba belajar untuk menghargai sesama pembuat film. Saya hanya ingin berbagi, ternyata film saya sudah begitu banyak dipunyai, dikopi dikopi. Bagi saya tak apa. Kita bisa saling membagi pengetahuan, pengalaman dan ketrampilan dalam membuat film. Kita bisa belajar bersama sama. Pencapaian yang mungkin akan bisa didapat secara bersamaan. Namun, penghargaan kepada pembuat film lebih banyak pada kemampuan dan itikad untuk bisa belajar etika. Etika, untuk sekadar memberi tahu proses mendapatkan film, guna sebuah festival dengan segenap kepentingan, ekspos nan gemerlap.

(3)
sudah saatnya, penyelenggara festival untuk memberi ruang bagi pembuat film lainnya, jangan film film dengan sutradara yang sama. 4 film saya diputar sekaligus dalam festival. Hebat. Tetapi tidak bagi saya, lalu kemana pembuat film dokumenter lainnya. Sangat sayangkan, kenapa siapapun akan masuk dalam sebuah momentum.

(4)
saya telah memohon maaf kepada panitia Purbalingga, dan di sini saya juga mau meminta maaf kepada mereka yang akan datang ke festival itu. Silahkan film saya yang sudah terkopi, terbajak, ditonton di ruang ruang pribadi, tetapi tidak untuk festival. Saya memohon maaf, atas ketidakenakan dan kenyamanan ini. Festival mungkin akan tetap berlangsung meriah tanpa film film saya.

(5)
mari belajar saling menghargai, mari belajar etika, mungkin mahal mahal harganya

sukses untuk festival Purbalingga



6 Mei 2008

Menginspirasi penciptaan




Beberapa minggu ini, saya mencoba berpikir, mencoba untuk mengemas kembali film film lama saya, yang pernah saya buat. Film film itu, saat ini memang hanya tersimpan di lemari hangat merah ruang editing. Saya berpikir, bagaimana jika film film ini saya kemas ulang. Bukankah menjadi berguna ?
Tentu, pertanyaan ini ada benarnya dan tidak ada benarnya juga.
(1) akan sangat konstruktif untuk bisa menjawab pertanyaan pertanyaan yang acapakali muncul : dimana bisa memperoleh film film dokumenter ? Pertanyaan ini sering muncul dan mengarah ke saya, baik langsung atau via email.
(2) menjadi sia sia belaka, jika saya melihat fakta, bahwa film saya sudah mengalami copy let, dimana mana ? Teman di Manado, pernah bercerita, :"mas, saya sudah memutar film film mas Tonny di kampus kampus..... haaaa. Mengemas film menjadi sia sia, pikir saya.
Namun, saya hanya berpikir, bahwa mengemas dan menjual film tetap tidak ada salahnya. Pembuat film bisa melakukannya, hitung hitung ada yang beli, lalu dialokasikan untuk produktivitas film berikutnya. Mungkin, seperti menggiring angin, tetapi tak apalah.

Pembajakan terus berlangsung, produktivitas juga berjalan.

2 Mei 2008

Cara Berpikir

Kebanyakan seniman saat ini, sangat pragmatis. Demikian, sebuah percakapan kecil, dengan dua orang anak muda satu siang. Lantas apa yang salah ? Ada yang salah ?
Saya jadi ingat, sebuah pengalaman. Tahun 2004 saya membuat film dengan Lontar, tentang seorang novelis. Sastrawan itu, namanya Hanna Rambe.Nama yang tidak familiar, jika dibandingkan dengan Djenar Mahesa Ayu, ataupun Ayu Utami. Hanna Rambe saya film-kan. Biasa, sangat standar, lantaran ini film untuk pendidikan sastra di sekolah.
Hanna, lebih memilih atau memposisikan dirinya pada satu jalur. Jalur itu bernama : Indonesia Timur dan perempuan. Semua novelnya : Pertarungan, Mirah dari Banda dan beberapa yang lain -maaf saya lupa- ia tulis dengan setting Indonesia Timur. Untuk satu novel, ia akan menghabiskan waktu tak kurang dari 3 tahun. Saya melihat sendiri, bagaimana ia belajar tentang Indonesia Timur dari buku berbahasa Portugese dan Belanda. Sebuah perjuangan yang hebat, untuk menyajikan sebuah novel yang dalam tentunya.
Fakta berbalik, ketika dua tahun lalu hingga kini booming teenlit, chiclit. Siapapun bisa menulis dan menjadi terkenal. Dari anak anak hingga ABG siap menyangi karya karya novelis senior yang dari dulu dijerat ekonomi lantaran mengandalkan : menulis.

Dunia dokumenter ? Mungkin hampir sama. Ada begitu banyak sineas dokumenter muda berbakat penuh aksi yang telah melahirkan karya karya yang gemilang. Jujur saja, teknologi telah memanjakan kita. Segenap kemudahan telah mendorong sebuah pilihan dalam dunia yang bisa digenggam dalam waktu singkat.

Kita terlanjur menjadi serba :shortcut, dan copy paste. Ini faktanya.
Mari menjadi lebih bergairah. Bukankah ini mudah ?

24 Apr 2008

Mari belajar dari festival


Suatu siang, ketika Prana dan Latu tengah tidur siang. Saya menonton film So Close ! Ini film Hongkong penuh aksi. Dan puitis adegan action-nya haa...... Saya sangat suka. Apalagi ada lagunya ada lagunya Close to to You -nya Carpenters. Haaaa.....

Lantas tilpon rumah berdering : tulalit...! Pita, teman dari Solo menelpon. Filmnya menang di festival film air baru baru ini, lupa aku nama festivalnya. Dia dapat hadiah. Selamat, sukses kata saya. Lantas, ia ingin mengirimkan filmnya yang menang itu ke festival di Denmark.

Kita lantas sharing soal festival. Pengalaman saya, saya tidak pernah mau mengirim film ke festival yang harus mbayar ! Logika saya, saya nggak mau sudah keluar uang untuk ngirim film, harus mbayar lagi. Sementara si pemilik festival, senang : dapat uang dan dapat film. Saya seringkali mencari festival dengan tidak ada biaya mbayar pendaftaran. Sebab, saya harus berpikir soal peluang. Yang paling penting juga soal keterbatasan. Jika satu film kita daftarkan dengan minimal $30 US, plus US$ 40 untuk biaya shipping, ya nampaknya bagi pembuat film dokumenter seperti saya pasti akan keberatan. Apalagi, jika target saya satu film minimal harus terkrim ke 5-10 festival setiap tahun.

Maka saya menggunakan strategi, mencari festival yang dateline nya masih panjang. Dengan pertimbangan bisa kirim lewat kantor pos yang murah, haa.... lebih murah memang. Ini yang selalu saya coba lakukan.

Mungkin pembuat film dokumenter itu juga seperti pengrajin. Tapi tidak seperti pengrajin tahu tempe yang setiap hari laku jualannya. Saya satu tahun hanya buat maksimal 2 film. Bagaimana mungkin harus mengalokasikan 700 - 1000 dollar khusus untuk berkirim ke festival dalam satu tahun....

telpon selesai. seorang gadis cantik menembakan pistol-nya dor dor... lagu close to you kembali mengalun :

why do birds suddenly appears
everytime you are near
just like me, they long to be
close to you

why do stars fall down from the sky
everytime you walk by
just like me, they long to be
close to you.....

saya jadi ingat sebuah obrolan dengan Aryo Danusiri, 5 tahun lalu
kita harus hati hati dan selektif memilih festival, begitu dia kata !


Kalah di Festival ?


"Renita Renita", sekali lagi masuk di kategori competition documentary di Amnesty International film Festival Amsterdam. Sebuah festival film dengan gengsi tinggi di wilayah Eropa. Film itu masuk kompetisi, namun kalah. Sudah seperti prediksi saya. Kenapa ?

Kenapa ? Maaf, pengalaman saya datang ke beberapa festival internasional, film film saya ternyata tidak mempunyai kualitas yang sebanding dengan karya-karya film dari teman teman di luar negeri. Kualitas film saya, jauh dibawah mereka. Dan saya tidak berharap banyak tentunya.

Kenapa ? Karena ada satu tuntutan. Ada satu tanggungjawab, juga kegilaan, tepatnya ! Saya membuat film Renita Renita hanya onedayshoot ! Mereka ? Biasanya akan menghabiskan waktu minimal 2 tahun untuk satu film. Mungkin lebih.

Saya begitu terkesan dengan sebuah film Hibakusa, yang akhirnya menyisihkan film saya untuk memperoleh grand prix award di 12 Earth Vision International Film Festival Tokyo 2003. Sekalipun saya dengan film Dream Land meraih penghargaan excellence Award. Hibakusa, dibuat dalam kurun waktu lebih dari 6 tahun. Film Dream Land saya kerjakan dalam waktu shooting hanya 2 minggu.

Lagi, saya terkesan dengan film Ghost City Soil, sebuah film dokumenter di 24th Miami International Film Festival 2007. Film itu dikerjakan dalam waktu 4 tahun, filmaker mengikuti tokoh hingga akhirnya terbunuh dalam sebuah kerusuhan di Haiti.

Saya mencoba untuk bisa membaca dan belajar dari pengalaman mereka. Mangga Golek Matang di Pohon film terbaru saya, akan saya selesaikan 2009, nanti. Saya ingin mencari sebuah pengalaman baru. Kenapa ? Katanya, pengalaman itu mahal harganya !

Film Film Saya di Youtube

Katanya, teknologi itu diciptakan untuk membantu manusia. Saya nggak ingat siapa yang bilang seperti ini. Karena sudah ada fasilitas, maka saya mencoba memasukan film film saya di youtube. Konon, ini sebuah pasar maya ! Nggak ingat juga siapa yang bilang saya seperti ini.

Coba coba, saya masukan film film saya di youtube. Tanggapannya beragam. Pengalaman baru bagi saya. karena beberapa film ditonton oleh orang dalam jumlah banyak. Film film saya konon, ada yang bisa didownload juga. Silakan mencoba. Mari kita bertukar pengalaman, cara pandang dan pengetahuan. Silahkan mencoba.

http://www.youtube.com/profile_videos?user=trimarsanto&p=v

Renita Renita di Turino Italy


Perjalanan film "Renita Renita" terus berlanjut. Kali ini film itu diputar di Turino Gay Lesbian Film Festival 2008 di Italia. Namun, tidak masuk di kompetisi karena festival itu, tidak menerima film dokumenter pendek -shortdocumentary. Akhirnya hanya masuk di kategori World Panorama.

Tak apalah, yang penting sudah dan masih ada yang mau memutar film itu, sekalipun sudah selesai saya produksi tahun lalu. Atau selengkapnya bisa dibuka di www.tglff.com

31 Mar 2008

Mangga Golek Matang di Pohon !

Apakabar ? Saya saat ini tengah meng-edit film Renita, versi panjang. Judulnya : Mangga Golek Matang di Pohon. Sejak bulan November tahun lalu saya mulai meng-capture, membuat shoot report dan meng-editnya.

Sampai awal April ini, sudah 115 menit durasinya. Saya belum yakin film ini selesai karena masih 25% kaset yang belum tercapture, dari 81 jam kaset master shoot.

Saya tak yakin dengan apa yang telah saya edit. Saya tilpon Elida Tamalagi, yang terkenal itu yang punya KINOKI Yogyakarta. Saya minta, Elida untuk menonton.
Elidapun berkomentar "Sedih. Dan ini lompatan dari karya karya mas sebelumnya !"

Saya belum yakin lagi. Saya kedatangan tamu dari Makasar. Arfan, yang menang di kompetisi Eagle Award dari film Suster Apung. Ia datang bersama Dany Cublux, yang sebelumnya sering meng-edit film saya. Komentar mereka berdua: "Tidak membosankan. Dan nanti endingnya kayak apa mas ?" Arfan dan Dany penasaran dengan ending film saya.

Tak lama kemudian datang mentor dan dosen UI, Rhino (Inyoo) ke rumah. Ia kasih masukan, "Kok aneh. Gini jadinya. Haaa....." Mungkin butuh funding untuk bisa memblow up isunya. Kata teman karib ini.

Beberapa hari kemudian, ada Esha Kardus dari Studio 19 ISI Surakarta. Ia kaget dengan gambarnya. "Kok kaya gini ? Kurang ini kameranya. Nggak di colour bar ya !" Semua berbau teknis ia katakan. Saya berdalih. Ini film tanpa kameramen, karena nggak mampu saya membayar mereka. Jadi saya kerjakan sendiri. Mulai dari desain ide, kamera operator hingga editing. Ini bukan rezim teknis. Ini Rezim cerita. Begitu yang saya percayai saat ini. Saat kepepet, maksudnya.

Kemudian, pemenang Eagle Award Yuli Andari dengan film Joki Kecil, juga main ke rumah. Komentarnya sederhana: "Sedih banget ! Tapi jangan dipakai untuk materi workshop lo mas ! Entar pesertanya pusing melihat struktur dan gaya bertutur yang tak lasim ini !"

Saya menjadi lega. Saya butuh kontrol, dalam menyelesaikan film Mangga Golek Matang di Pohon ini. Mereka adalah teman teman. Yang memberi kontribusi bagi pencapaian film saya.
Saya sangat berteimakasih dengan masukan mereka.

Saya senang mempunyai teman, yang mau mengontrol pencapaian.
Yang pasti mungkin ini film terpanjang saya. Bisa 2 hingga 3 jam. Saya mencoba mengerjakannya lagi saat ini.

IN PRODUCTION

Tsunami : Gift of Life
Sam Pek Engtai ( Kasih Tak Sampai )

Renita's Journey : Mangga Golek
Merdeka atoe Mati !
Operasi Subyektivitas

My Film

  • GERABAH PLASTIK (2002), ROEDJITO (2003), HELP SPECIES DYING (2003), THE DREAM LAND (2003), I LOST MY FOREST IN ONE MINUTES (2004), THE LAST FOREST (2004), I WILL (2004), HANNA RAMBE (2004), MOTHE'S TEARS (2004), SERAMBI (2005), OUR BELOVED MOTHER (2005), HUMAN TRAFFICKING (2006), RENITA RENITA (2006), IN SHADOW OF THE FLAG (2007), SAM PEK ENGTAI (Kasih Tak Sampai- in production)

Mengenai Saya

Klaten - Jakarta pulang-pergi, Indonesia
Saya film director, fasilitator workshop film dan penulis.