30 Mei 2008

J A G A L










J A G A L

Saya besar di kampung. Jagalan, namanya. Sejak kecil, saya mencoba mengartikan kata ini. J A G A L A N ! Adakah, ia tempat untuk menjagal ? Siapa yang dijagal ? Hewan, sapi-kah ? Tidak satupun, ruang rumah dikampungku ada kamar jagal sapi. Manusia, yang dijagal, barangkali. Lantaran, Jagalan kampungku lokasinya, dekat sebuah sungai yang besar, yang dulu, jernih airnya.

Saya jadi ingat, setiap kota mempunyai nama tempat Jagalan. Adakah ia memang mempunyai arti : tempat untuk menjagal ? Sapi . Manusia . Apa yang membedakan sapi dan manusia yang dijagal . Tidak sama sekali. Keduanya sama sama menjadi sayatan mata pisau di sisi sisi lekuk tubuhnya. Pisau pisau yang bisa menjagal, mungkin setiap lokasi, daerah akan berbeda beda nama dan bentuknya. Bisa jadi, ini akan mewakili semangat khas kebhinekaan dalam menjagal .

Prana, anak saya, sudah harus menghafalkan pisau pisau senjata khas dari berbagai daerah. Pisau senjata unik dari berbagai daerah, yang biasa di gunakan untuk menjagal, bertempur dan perang. Prana, harus hafal senjata khas kebinekaan yang nantinya akan ditanyakan dalam test pelajaran di kelasnya. Harus hafal luar kepala, jika ditanya. Untuk apakah ini dilakukan ? Tentu, dengan menghafal, akan lebih memudahkan dan memberikan keleluasaan kepada anak-anak kita sejak dini, kelak bisa dengan mudah menentukan alat jagal mana yang paling tepat untuk digunakan.

Lalu siapakah penjagal itu ? Apakah dia tentangga kita. Saudara kita. Orang asing. Akankah diri kita sendiri.

Ataukah juga dia Hitler. Pol Pot. George Bush. Sadam Hussein. Osama bin Laden. Slobodan Milosevic. Benarkah tokoh tokoh ini juga dilahirkan dikampung bernama Jagalan. Atau setidaknya mengerti arti kata : J A G A L .

( terimaksih perbincangan di jalan dengan mas Agung )

25 Mei 2008

ada hujan di bulan Juni



tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni, dirahasiakan rintik rindunya kepada pohon yang berbunga itu

Pemutaran dan Diskusi film "Aku Ingin"
Sabtu, 7 Juni 2008
Dusun Manahan, jl. Menteri Supeno 20 SOLO
Pembicara : Sosiawan Leak (penyair), Tonny Trimarsanto (sutradara film), Esha Kardus (moderator)


RumahDokumenter, akan memutar film "Aku Ingin", silakan datang untuk bisa berdiskusi dengan penyair Sosiawan Leak

22 Mei 2008

Renita Renita di Roma, Italia

Flavio Armores, kurator dari Turino GLBT Film Festival yang memutar film Renita Renita dua bulan lalu, memberi kabar saya. Ia memohon dengan sangat, untuk bisa memutar film saya, Renita Renita, di Roma International Film Festival Juli nanti. Katanya, programmer festival itu tertarik untuk memasukan film saya di program "Transexual Village". Tak apa, pikir saya.

Sekali lagi saya bisa belajar, dan tahu bagaimana mencoba menempatkan siapapun -pembuat dokumenter itu- pada sebuah altar yang agung. Sebuah wilayah yang terkadang, sulit untuk bisa dimiliki oleh penyelenggara festival kita (baca: festival film di INDONESIA). Sederhana, nampaknya. Terkadang saya pikir, bukankah memutar dan mencamtumkannya langsung tidak soal, bukankah saya di Indonesia dan festival itu di Roma Italia ? Langsung saja diputar, tanpa permisi kepada si pembuat ?

Saya tidak terjebak bahwa, penyelenggara film festival dari luar lebih baik. Bukan orang Barat itu lebih mulia. Bukan, bukan ini maksud saya. Orang bule juga banyak yang menyebalkan, demikian, bule itu tai kata Shamir kameramen kepada saya beberapa tahun lalu. Festival asing juga banyak bohong nya, demikian kata Andi Bachtiar Yusuf dalam imel nya kepada saya.

Yang justru saya pikirkan, soal tersisanya sebuah ruang dalam diri kita, untuk belajar. Belajar menghargai. Belajar untuk menempatkan pada sebuah altar itu. Siapapun dia.


11 Mei 2008

Permohonan Maaf, teman !

(1)
saya sesungguhnya, bukan pembuat dokumenter yang pelit, untuk dimintai film untuk bisa dikopi atau dibajak sekalipun untuk tujuan pribadi, untuk festival atau untuk sekadar diputar dimanapun dalam acara apapun. Namun, kali ini, dengan jujur dan berat hati saya terpaksa membatalkan film -film saya untuk diputar di Festival Film Purbalingga. Langkah tidak memberi ijin ini saya lakukan, sudah saya pertimbangkan dengan sepenuh hati, dan dengan berat sebenarnya. Saya mengapresiasi sebuah pertumbuhan produktif. Saya sangat menyesalkan tindakan yang mengkopi film tanpa ijin. Ijin sutradaranya, alias pembuatnya. Saya tidak ingin bola panas dilemparkan ke pihak pihak yang sesungguhnya tidak berhak sama sekalipun untuk bisa memberikan film kepada siapapun, tanpa pernah memberitahu saya. Saya harap bola panas itu menjadi berhenti.

(2)
sudah saatnya kita mencoba belajar untuk menghargai sesama pembuat film. Saya hanya ingin berbagi, ternyata film saya sudah begitu banyak dipunyai, dikopi dikopi. Bagi saya tak apa. Kita bisa saling membagi pengetahuan, pengalaman dan ketrampilan dalam membuat film. Kita bisa belajar bersama sama. Pencapaian yang mungkin akan bisa didapat secara bersamaan. Namun, penghargaan kepada pembuat film lebih banyak pada kemampuan dan itikad untuk bisa belajar etika. Etika, untuk sekadar memberi tahu proses mendapatkan film, guna sebuah festival dengan segenap kepentingan, ekspos nan gemerlap.

(3)
sudah saatnya, penyelenggara festival untuk memberi ruang bagi pembuat film lainnya, jangan film film dengan sutradara yang sama. 4 film saya diputar sekaligus dalam festival. Hebat. Tetapi tidak bagi saya, lalu kemana pembuat film dokumenter lainnya. Sangat sayangkan, kenapa siapapun akan masuk dalam sebuah momentum.

(4)
saya telah memohon maaf kepada panitia Purbalingga, dan di sini saya juga mau meminta maaf kepada mereka yang akan datang ke festival itu. Silahkan film saya yang sudah terkopi, terbajak, ditonton di ruang ruang pribadi, tetapi tidak untuk festival. Saya memohon maaf, atas ketidakenakan dan kenyamanan ini. Festival mungkin akan tetap berlangsung meriah tanpa film film saya.

(5)
mari belajar saling menghargai, mari belajar etika, mungkin mahal mahal harganya

sukses untuk festival Purbalingga



6 Mei 2008

Menginspirasi penciptaan




Beberapa minggu ini, saya mencoba berpikir, mencoba untuk mengemas kembali film film lama saya, yang pernah saya buat. Film film itu, saat ini memang hanya tersimpan di lemari hangat merah ruang editing. Saya berpikir, bagaimana jika film film ini saya kemas ulang. Bukankah menjadi berguna ?
Tentu, pertanyaan ini ada benarnya dan tidak ada benarnya juga.
(1) akan sangat konstruktif untuk bisa menjawab pertanyaan pertanyaan yang acapakali muncul : dimana bisa memperoleh film film dokumenter ? Pertanyaan ini sering muncul dan mengarah ke saya, baik langsung atau via email.
(2) menjadi sia sia belaka, jika saya melihat fakta, bahwa film saya sudah mengalami copy let, dimana mana ? Teman di Manado, pernah bercerita, :"mas, saya sudah memutar film film mas Tonny di kampus kampus..... haaaa. Mengemas film menjadi sia sia, pikir saya.
Namun, saya hanya berpikir, bahwa mengemas dan menjual film tetap tidak ada salahnya. Pembuat film bisa melakukannya, hitung hitung ada yang beli, lalu dialokasikan untuk produktivitas film berikutnya. Mungkin, seperti menggiring angin, tetapi tak apalah.

Pembajakan terus berlangsung, produktivitas juga berjalan.

2 Mei 2008

Cara Berpikir

Kebanyakan seniman saat ini, sangat pragmatis. Demikian, sebuah percakapan kecil, dengan dua orang anak muda satu siang. Lantas apa yang salah ? Ada yang salah ?
Saya jadi ingat, sebuah pengalaman. Tahun 2004 saya membuat film dengan Lontar, tentang seorang novelis. Sastrawan itu, namanya Hanna Rambe.Nama yang tidak familiar, jika dibandingkan dengan Djenar Mahesa Ayu, ataupun Ayu Utami. Hanna Rambe saya film-kan. Biasa, sangat standar, lantaran ini film untuk pendidikan sastra di sekolah.
Hanna, lebih memilih atau memposisikan dirinya pada satu jalur. Jalur itu bernama : Indonesia Timur dan perempuan. Semua novelnya : Pertarungan, Mirah dari Banda dan beberapa yang lain -maaf saya lupa- ia tulis dengan setting Indonesia Timur. Untuk satu novel, ia akan menghabiskan waktu tak kurang dari 3 tahun. Saya melihat sendiri, bagaimana ia belajar tentang Indonesia Timur dari buku berbahasa Portugese dan Belanda. Sebuah perjuangan yang hebat, untuk menyajikan sebuah novel yang dalam tentunya.
Fakta berbalik, ketika dua tahun lalu hingga kini booming teenlit, chiclit. Siapapun bisa menulis dan menjadi terkenal. Dari anak anak hingga ABG siap menyangi karya karya novelis senior yang dari dulu dijerat ekonomi lantaran mengandalkan : menulis.

Dunia dokumenter ? Mungkin hampir sama. Ada begitu banyak sineas dokumenter muda berbakat penuh aksi yang telah melahirkan karya karya yang gemilang. Jujur saja, teknologi telah memanjakan kita. Segenap kemudahan telah mendorong sebuah pilihan dalam dunia yang bisa digenggam dalam waktu singkat.

Kita terlanjur menjadi serba :shortcut, dan copy paste. Ini faktanya.
Mari menjadi lebih bergairah. Bukankah ini mudah ?

IN PRODUCTION

Tsunami : Gift of Life
Sam Pek Engtai ( Kasih Tak Sampai )

Renita's Journey : Mangga Golek
Merdeka atoe Mati !
Operasi Subyektivitas

My Film

  • GERABAH PLASTIK (2002), ROEDJITO (2003), HELP SPECIES DYING (2003), THE DREAM LAND (2003), I LOST MY FOREST IN ONE MINUTES (2004), THE LAST FOREST (2004), I WILL (2004), HANNA RAMBE (2004), MOTHE'S TEARS (2004), SERAMBI (2005), OUR BELOVED MOTHER (2005), HUMAN TRAFFICKING (2006), RENITA RENITA (2006), IN SHADOW OF THE FLAG (2007), SAM PEK ENGTAI (Kasih Tak Sampai- in production)

Mengenai Saya

Klaten - Jakarta pulang-pergi, Indonesia
Saya film director, fasilitator workshop film dan penulis.