1 Agu 2007

Catatan JAFF 2007

Jogja Asia NETPAC Film Festival 2007,
Kultur Film Itu Berproses !



Nadine Zaidan, 25 tahun menulis kenangan, kegundahan dan kebingungannya dalam sebuah buku harian. Ia terus bertanya. “Kenapa perang terus terjadi ? Kenapa aku tak sempat mengenal ayahku, yang seorang pejuang dan mati muda ? Kenapa kita tidak bisa sepakat untuk bisa menentukan masa depan bangsa ini bersama-sama ? “
Inilah kegundahan yang sebenarnya ingin dibangun oleh Mai Masri, lewat tokoh Nadine Zaidan, dalam film “Beirut Diaries”. Kamera seakan mengungkapkan kegelisahan sutradaranya, dalam diri aktivis perempuan yang mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang terus menerus membayanginya. Dengan teknik yang sederhana, sutradara perempuan Libanon ini, mencoba mengupas makna sebuah kenangan. Dan siapapun tak akan bisa membunuh kenangan. Kenangan, yang menjadi milik warga Libanon. Bahwa sebagian besar generasi mudanya tumbuh dan hidup dalam suasana krisis dan konflik. Mereka tidak saja gelisah. “Kita tak akan tahu masa depan “. Inilah ungkapan kegelisahan terbesar dari film yang pernah diputar di 20th Singapore International Film Festival tahun lalu ini.
Dengan pendekatan yang sederhana, film dokumenter ini mencoba untuk mengemas segenap peristiwa-peristiwa, yang kian membuat masa depan Libanon sendiri menemui jalan buntu. “Truth, Freedom, and Nation Unity”, sebuah slogan yang terus menerus dinarasikan dalam film. Dari tiga ungkapan itu saja, kaum muda Libanon, tak punya kesepakatan. Realitas ini tertangkap dari peristiwa perkelahian antar aktivis, debat antar mahasiswa Libanon, dan debat kusir antara penjual kopi keliling dan seorang kaya yang terus berkampanye dengan mobilnya.
Fase krisis, memang masa penuh mimpi. Ia juga mengandungi, kecemasan yang luar biasa. Dan harapan, yang terus memaksa siapapun untuk berlari mengejarnya. Dari film “Beirut Diaries”, krisis menjadi sesuatu yang magis. Dalam wilayah media apapun, konflik dan krisis, setidaknya menyimpan daya magis yang memesona untuk dikemas dalam sebuah tampilan. Siapapun, akan bisa mengenangnya.

***
Film “Beirut Diaries”, adalah salah satu film yang cukup memesona, di 2th
Jogjakarta Asia Netpac Film Festival. Beberapa film lain, memang cukup punya daya pikat juga. Bisa dilihat dari film “Losing Ahmad”, karya Abdullah Baushahri, Kuwait. Film documenter panjang yang mencoba mengisahklan seorang anak Irak, yang menjadi korban dari perang besar Amerika –Irak. Dengan kepiawaiannya, sutradara menggunakan si anak yang bernama Ahmad Syarif, sebagai sebuah kendaraan diplomasi politik tingkat tinggi Amerika Serikat. Film yang memperoleh penghargaan internasional ini, sangat personal sebagai sebuah karya.
Ada lagi film yang cukup mengangetkan. Judulnya “Akira’s Boys”, karya James Leong dan Lynn Lee. Film ini menyodorkan kisah yang tidak biasa. Dalam bangun bentuk dokumenter, film “Akira’s Boys” dengan seting Kamboja, mencoba mengajak penonton pada sebuah petualangan riil yang : mendebarkan, sekaligus memilukan. Tak pernah terbayangkan, bahwa ada begitu banyak manusia, yang menjadi korban dari sisa-sisa ranjau yang ditanam di dalam tanah. Apa yang bisa kita rasakan ketika anak kita –tanpa sengaja- menginjak ranjau yang masih aktif tertanam di tanah ? Apa yang bisa dikatakan, ketika anak kita lantas kehilangan tangan, kaki, dan menjadi cacat permanent setelah tanpa sengaja menginjak ranjau-ranjau sisa perang tidak dibersihkan ?
Dari menit-ke menit, ketegangan memang terbangun dari film “Akira’s Boys”. Bagaimana seorang anak yang cacat, berusaha untuk mencoba tetap mampu berkelahi ala “wrestrling” dengan satu tangannya. Atau, adegan menjinakan puluhan ranjau yang masih aktif, akan membuat penonton untuk mengkalkulasi betapa besar resiko adegan riil itu. Betapa besar resiko yang harus ditanggung oleh pembuat film.

***
Setiap festival, memang mempunyai nilai konstruktif. Kita mengenal banyak festival di dunia, ataupun skala nasional, yang memang mempunyai eksistensi, pola dan peran yang berbeda. JAFF, akan menjadi satu tempat, ketika banyak kalangan melihat data estetik-statistik dunia film. Baik film nasional, ataupun film-film asing. Bisa jadi, JAFF melakukan dekonstruksi, bahwa festival, sekali lagi, bisa dimanapun. Tidak perlu di pusat (baca:ibukota, baca lagi : Jakarta !)
Bagi penikmat film di Jogja, paling tidak JAFF bukan sekadar hitungan tentang data kuantitatif. Siapa saja sutradaranya dan seperti apa karyanya. Kita harus berpikir lebih riil bahwa, untuk saat ini, ada begitu banyak komunitas film. Bukan hanya komunitas film yang hanya di Jakarta. Wilayah-wilayah lain seperti, Malang, Yogyakarta, Semarang, Jember, ataupun Surabaya, Padang dan Makasar, sejauh ini justru lebih punya daya penciptaan yang produktif.
Dalam sebuah perbincangan dengan penulis, Philip Cheah, curator festival JAFF ini mengungkapkan bahwa festival ini berprospek dan penuh harapan. Lalu saya Tanya kenapa ? Dia mengakui bahwa, dengan segenap keterbatasan, ternyata respon luar biasa telah diberikan oleh pembuat film tingkat grassroot, tidak mainstream ! Lalu, saya Tanya lagi kenapa bisa demikian ? Anda sudah membuktikan dan melihatnya sekarang.
Sekali lagi, saya mencoba mendefinisikan tentang makna sebuah komunitas film di Indonesia. Ya mereka adalah sekumpulan anak muda, tanpa akses pasar dan mencoba membentuk jalannya sendiri. Ada upaya untuk menumbuhkan kultur film. Ada upaya untukm mencoba mencintai produk antar mereka, yang mereka hasilkan. Ada sebuah upaya sharing. Proses panjang, yang memang tengah dilakukan.
Jujur saja, dunia sinema memang tak lepas dari sebuah krisis. Harus disadari bahwa, eforia memproduksi film komersiil itu hanya ada di ibukota. Upaya membangun kultur dengan pasar komersiil memang tengah juga dilakukan lewat karya karya sineas ibukota. Seharusnya, perbincangan sinema Indonesia tidak hanya berwajah Jakarta. Memang ada, komunitas film yang berada di pinggiran yang secara kerja keras tengah berproses, membentuk ruang, jaringan, dan produktivitas.
Proses pembentukan kultur itu butuh waktu. Saya jadi ingat kegelisahan dari seorang Emanuel Subangun ( dalam diskusi Sinema Kesaksian JAFF yang saya moderatori ), ketika menyatakan bahwa mayoritas film kita adalah gambar yang dihidup-hidupkan. Ia tidak mempunyai virtual art, katanya. Saya sendiri menjadi bingung. Maaf Pak Imanuel, kita tidak sedang berada di Eropa. Ini : Indonesia ! Kita memang baru mencoba untuk melahirkan kultur itu. Tingkat kegelisahan, pencapaian dan kemapanan yang berbeda. Dan, tidak masuk manakala kita harus membanding-bandingkannya.
Yang pasti, tengah ada kesadaran. Kesadaran untuk menciptakan kultur film. Mencoba mencintai, mungkin butuh proses. ****

Tonny Trimarsanto,

Tidak ada komentar:

IN PRODUCTION

Tsunami : Gift of Life
Sam Pek Engtai ( Kasih Tak Sampai )

Renita's Journey : Mangga Golek
Merdeka atoe Mati !
Operasi Subyektivitas

My Film

  • GERABAH PLASTIK (2002), ROEDJITO (2003), HELP SPECIES DYING (2003), THE DREAM LAND (2003), I LOST MY FOREST IN ONE MINUTES (2004), THE LAST FOREST (2004), I WILL (2004), HANNA RAMBE (2004), MOTHE'S TEARS (2004), SERAMBI (2005), OUR BELOVED MOTHER (2005), HUMAN TRAFFICKING (2006), RENITA RENITA (2006), IN SHADOW OF THE FLAG (2007), SAM PEK ENGTAI (Kasih Tak Sampai- in production)

Mengenai Saya

Klaten - Jakarta pulang-pergi, Indonesia
Saya film director, fasilitator workshop film dan penulis.