9 Agu 2007

Maaf, Saya anak Belanda Betawi

Konon, menjadi pembuat film itu hanya bermodal harapan !
Dari liputan media semacam ini kadang membuat orang bertanya tentang sebuah film akan selesai dikerjakan. Berharap, mungkin juga semua pembuat film dokumenter pernah mengalaminya.


www.bisnis.com

Kamis, 11/05/2006 16:49 WIB
Maaf, Saya anak Belanda Betawi
oleh : Erwin Nurdin

JAKARTA (Bisnis): Buku setebal 276 halaman ini dengan mengalir menceritakan pengalaman Pans Schomper, selama 20 tahun hidup di zaman Hindia Belanda. Semula kehidupan yang dialaminya sangat indah, tetapi tiba-tiba berubah menjadi malapetaka saat Jepang masuk ke Indonesia dan perang dunia kedua meletus.

Pans Schomper lahir pada tanggal 27 Oktober 1926 di rumah sakit Carolus di Batavia, Hindia Belanda. Ibunya A.M. Bruyns dan ayah L.C. Schomper memiliki hotel dan restoran di Jakarta, Bandung dan Lembang. Baik ayah maupun ibu, masing-masing beremigrasi tahun 1918 dari Belanda ke Hindia.

Penulis memulai kisahnya dari Batavia, tanah kelahirannya. Kemudian dengan sangat menarik dan lancar Pans menceritakan detil-detil masa kecil di Batavia, lalu pindah ke Lembang dan terakhir saat-saat indah di Bandung.

"Saya dilahirkan pada saat Belanda masih menduduki Indonesia dimana kehidupan masa kecil dan muda yang penuh kebahagiaan saya nikmati. Sampai tiba saatnya Perang Dunia kedua berkobar. Datangnya serbuan Jepang, pengalaman di kamp konsentrasi Jepang yang penuh derita, kemudian diikuti serbuan para pejuang kemerdekaan Indonesia dimasa periode Bersiap dan akhirnya para pejuang berhasil meraih kemerdekaan," tulis Pans mengawali ceritanya.

Pans melanjutkan, "pekik Merdeka bergema di seluruh pelosok Nusantara, sampai akhirnya dengan berat hati saya harus meninggalkan tanah kelahiran menuju negeri Belanda yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya".

Hidup Pans masa kecil memang enak. Di Batavia --Jakarta-- keluarga Schomper memiliki hotel bernama Hotel Schomper yang terletak di Jalan Menteng. Hotel ini pada masa itu merupakan hotel terbaik, setelah masa kemerdekaan hotel itu berubah menjadi museum kini dikenal sebagai Gedung Joang 1945. Keluarga Pans juga memiliki hotel di Lembang bernama Hotel Montagne dan Hotel du Pavillon di Jalan Naripan Bandung.

"Aku diberi nama Frans oleh ayahku, kemudian nama ini berubah menjadi Pans --panggilan akrabku-- karena orang pribumi sulit mengucapkan huruf f. Mulanya Sinyo Prans, tetapi kemudian berubah menjadi Pans untuk seterusnya sampai sekarang," ujar Pans bernostalgia, ketika berkunjung ke Indonesia baru-baru-baru ini dalam usianya kini menuju 80 tahun.

Dalam buku ini, Pans menceritakannya dengan menarik kisah saat masa kecil dan masa dimana dia harus bertahan untuk tetap hidup dikamp konsentrasi Jepang. Pans menuliskan kejadian-kejadian dan peristiwa yang dialami selama 20 tahun di Indonesia, terutama masa kecilnya di Batavia, Bandung dan Lembang. Kemudian masa pendudukan Jepang, saat-saat yang tidak bisa dilupakangan penderitaan panjang di kamp konsentrasi Jepang dan masa perjuangan.

Berbagai peristiwa itu, dituturkan dengan bahasa yang sederhana tetapi mengalir, penulis menceritakan kehidupan masa kecilnya pada pra perang Hindia Belanda dan sebagai penghuni kamp konsentrasi Jepang. Pans Schompers mengungkapkan kejujuran hatinya sesuai dengan apa yang dia alami.

Kisah hidup penulis diungkapkannya secara jujur, apa adanya tidak ditambah atau dikurangi, kadang sedikit menyerempet resiko. Buku Schomper dapat dikategorikan baik dan mengalir dalam cara pengungkapan cerita.

Karenanya tidak berlebihan kalau Benny Soebardja, pemusik yang diminta komertarnya mengenai buku ini mengatakan kisah yang ditulis Pans menarik untuk dibaca terutama oleh generasi yang tidak mengalami penderitaan zaman itu. Hubungan manusiawi antara Pans dan sopirnya Enoh, misalnya, sangat menyentuh, penuh ketulusan, kesetiakawanan dan kejujuran.

Merasa lahir di Betawi Batavia, meski secara kewarganegaraan dan fisik dirinya Belanda, Pans Schomper menjuduli bukunya untuk edisi terbarunya: Maaf, Saya Anak Belanda Betawi. Buku ini sudah diterjemahkan kedalam lima bahasa yakni Indonesia, Inggris, Spanyol, Jerman dan Jepang dari bahasa aslinya Belanda. Semula buku ini berjudul Selamat Tinggal Hindia, Janjinya pedagang telur.

Kini di usia senjanya menjelang 80 tahun, bersama anak-anaknya Pans masih rajin dan rutin datang ke tanah kelahiran Batavia melakukan kunjungan kultural ke Indonesia.

Pans sekarang sedang mempersiapkan memproduksi film semi dokumenter dari otobiografi buku ini. Penulisan naskah film dikerjakan Anang Mardianto dan Agung Priyo Wibowo dan akan disutradarai oleh Tonny Trimarsanto, sutradara muda, energik yang banyak menghasilkan film dokumenter seperti Serambi.

Tidak ada komentar:

IN PRODUCTION

Tsunami : Gift of Life
Sam Pek Engtai ( Kasih Tak Sampai )

Renita's Journey : Mangga Golek
Merdeka atoe Mati !
Operasi Subyektivitas

My Film

  • GERABAH PLASTIK (2002), ROEDJITO (2003), HELP SPECIES DYING (2003), THE DREAM LAND (2003), I LOST MY FOREST IN ONE MINUTES (2004), THE LAST FOREST (2004), I WILL (2004), HANNA RAMBE (2004), MOTHE'S TEARS (2004), SERAMBI (2005), OUR BELOVED MOTHER (2005), HUMAN TRAFFICKING (2006), RENITA RENITA (2006), IN SHADOW OF THE FLAG (2007), SAM PEK ENGTAI (Kasih Tak Sampai- in production)

Mengenai Saya

Klaten - Jakarta pulang-pergi, Indonesia
Saya film director, fasilitator workshop film dan penulis.