28 Jul 2007

Trauma Kolektif Film Dokumenter
SINAR HARAPAN , Kamis, 3 Oktober 2002
Oleh Tonny Trimarsanto,

Penyelenggaraan Jakarta International Film Festival (JIFFEST) 2002 tahun ini, ternyata mempunyai pilihan baru bagi teraktualisasikannya jenis film dokumenter. Film dokumenter, tampaknya mempunyai posisi yang serius dari 120 film yang digelar dari 30 negara dunia. Sehingga, membaca perhelatan JIFFEST 2002, akan semakin menambah cakrawala baru dunia filmis-visual sinematografis kita.Harus disadari bahwa, perkembangan film dokumenter di tanah air tak banyak memberikan harapan. Artinya, film dokumenter dalam perkembangannya, tak pernah mengalami masa produktif dan diapresiasi dalam batasannya yang konstruktif. Artinya, tak banyak dari warga masyarakat kita yang mengenal apa sesungguhnya film dokumenter itu sendiri. Opini dunia film sinematografis kita hingga saat ini, masih didominasi oleh karya-karya film fiksi, yang lebih diasumsikan sebagai karya yang memang layak untuk diapresiasi.Dari 120 judul film yang diputar, tak kurang 38 di antaranya adalah film dokumenter. Dengan komposisi 17 judul adalah film dokumenter garapan sineas lokal, yang mencoba mengungkapkan beragam bentuk fakta, keseharian kita dalam kajian film sinematografis. Paling tidak, munculnya film dokumenter melahirkan asumsi-asumsinya yang serius. Lantaran, film dokumenter di tanah air tak pernah memperoleh tanggapan yang serius.Inipun tak bisa disalahkan sepenuhnya. Sejarah perkembangan film dokumenter di tanah air, ternyata menyisakan segenap trauma psikologis komunal bagi masyarakatnya. Film dokumenter, bukan saja dipandang sebagai bentuk media yang mampu memberikan informasi, suluhan, pendidikan ataupun hiburan. Lebih parahnya adalah, film dokumenter telah menjadi alat politik bagi negara dalam mensosialisasikan kebijakan yang mendukung status quo. Pelajaran menarik, bisa diambil dari negeri Nepal. Negeri kecil Nepal ini, pernah mengalami sistem pemerintahan yang korup dan otoriter selama 30 tahun di bawah rezim penguasa Panchayat. Kala rezim Panchayat berkuasa, semua akses media dikuasai sepenuhnya. Media film apalagi. Ketika muncul film dokumenter, yang mengaktual adalah wacana propaganda. Artinya, film menjadi sebuah pilar penting bagi sosialisasi dan nilai-nilai yang relevan dengan eksistensi penguasa. Negara adalah saya, itulah yang terjadi.Namun, perkembangannya menjadi berbalik seratusdelapanpuluh derajat, manakala kekuasaan itu runtuh. Terlebih setelah pada tahun 1985, dibukanya kebebsan untuk berdirinya stasiun televisi swasta. Industri televisi secara progresif telah mendukung lahirnya keberagaman ekspresi dalam bahasa visual film media. Maka, pertumbuhan karya-karya visual film terus bermunculan. Begitu pula dalam produksi karya dokumenter.Pengalaman yang terjadi di negara Nepal mengasumsikan bahwa masyarakatnya masih menyimpan sebuah trauma kolektif dari film dokumenter. Film sebagai alat politik, itulah yang senantiasa yang menempel. Satu dampak yang masih nampak adalah , para pemilik stasiun menjadi sedikit bersikap protektif bagi masuknya kreativitas yang telah tumbuh luar biasa dalam diri pembuat film dokumenter. Birokrasi stasiun televisi dengan pertimbangan politik dan industri ini masih masuk akal. Pada fenomena yang lain, adalah, sekalipun pernah mengalami trauma kolektif panjang dari bentuk film dokumenter, Nepal menjadi salah satu negara yang secara rutin menggelar festival film dokumenter tahunan.Untuk kawasan Asia, perkembangan film dokumenter terus menerus mengalami pendefinisian baru. Kenyataan ini bisa disadari, bahwa film dokumenter di tanah air, juga mengalami fase yang sama. Yakni, pertumbuhannya, senantiasa tidak bisa konstruktif. Tidak bisa disalahkan juga, kenapa film dokumenter terus berada dalam basis marginal. Sebab, desain pencitraan film dokumenter di tanah air berjalan dalam jalurnya yang buruk.Kita masih ingat, misalkan pada zaman pemerintahan Orde Baru, film dokumenter adalah sebuah karya propaganda. Film dokumenter adalah alat politik untuk bisa menyampaikan pesan-pesan politis kepada masyarakat. Baik itu dari elemen visualnya, ataupun audionya. Sehingga, karena dikembangkan dalam patron semacam ini, sangat masuk akal jika film dokumenter tidak tumbuh secara konstruktif.Maksudnya, perbincangan tentang film dokumenter tak lepas dari kisah-kisah politis dari pemerintah. Film dokumenter Indonesia adalah cerita tentang sebuah desa yang maju dari pembangunan fisiknya, mempunyai kepatuhan terhadap pemerintah, dan memberikan pernyataan singkat : bahwa pemerintahanlah yang mewujudkan semua itu. Politik propaganda menjadi menu utama dalam mayoritas film dokumenter yang pernah diproduksi. Justru karya dokumenter semacam inilah yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat, karena ditayangkan secara rutin di stasiun milik pemerintah TVRI.Masuknya pendana ataupun lembaga yang men-support pembuatan film dokumenter, memberikan paradigma baru. Lembaga-lembaga kemasyarakatan non pemerintah yang memberi dana bagi produksi film dokumenter, ternyata menciptakan sistem baru. Baik itu dari segi bentuk, kepentingan ataupun content yang dimuatinya. Lembaga non pemerintah, baik yang lokal ataupun asing, telah menciptakan paradigma baru bagi produksi film dokumenter. Nilai tambah inilah yang akhirnya menjadi paradigma baru, bagi bergesernya nilai-nilai film dokumenter yang telah dikukuhkan oleh pemerintah. Dokumenter propaganda yang menciptakan trauma kolektif panjang. Tetapi bukanlah persoalan yang sederhana untuk bisa menggeser sebuah paradigma dokumenter propaganda tersebut. Sebab, biasanya film dokumenter yang lebih objektif, mempunyai sikap, idealisme dan pilihan fakta tepat, tidak pernah dikonsumsi dalam wilayah publik yang luas. Hanya terbatas saja penikmatnya. Alhasil, untuk bisa melahirkan film dokumenter yang benar-benar konstruktif, akan membutuhkan fase yang panjang. Apalagi, jika merelevankannya dengan apa yang terjadi dalam industri televisi, menyangkut perkembangan film dokumenter.Jumlah film dokumenter yang ditayangkan oleh stasiun televisi tak lebih dari 5% mayoritas program yang disiarkannya. Kebijakan industri untuk tidak menayangkan film dokumenter dalam kuantitasnya yang banyak, mungkin sebuah pilihan yang tepat, lantaran industri televisi akan terkait erat dengan kalkulasi-kalkulasi ekonomis yang memaksanya untuk tidak memberi porsi lebih pada film dokumenter.Faktor lain yang juga mempengaruhinya adalah, bahwa masyarakat kita masih menyimpan trauma kolektif panjang terhadap film dokumenter propaganda. Ada sinisme pada film dokumenter. Sehingga menumbuhkan peminatnya untuk lebih banyak, terasa sulit dan berat. Sementara, dari beberapa karya dokumenter yang sempat ditayangkan di era industri televisi pada saat ini, telah ditemukan serangkaian sensasi-sensasi baru dari apa yang disebut sebagai film dokumenter.Pengenalan keragaman film dokumenter lewat jalur festival, pada kenyataannya adalah sebuah pilihan yang tepat. Sangat tepat untuk bisa mengenalkan, bahwa memang begitu banyak gaya bertutur dari film dokumenter itu sendiri. Paradigma-paradigma yang selama ini belum pernah kita kenal sebelumnya. Sehingga sangat masuk akal, manakala film dokumenter berpeluang untuk dikenal lebih luas oleh publiknya.Film dokumenter adalah karya yang sebenarnya dekat dengan publik. Ia tak lebih dari sebuah jendela yang menghantarkan kita pada serangkaian fakta yang begitu dekat dengan dunia kehidupan sehari-hari. Film dokumenter adalah penyampai fakta-fakta riil, kongkret, dekat dengan diri kita. Atau bahwa akan membawa penikmatnya pada sebuah petualangan baru tentang kehidupan yang belum pernah dikenalnya.Konon, film dokumenter mampu memberikan kontribusi serius bagi siapa yang mengonsumsinya. Lebih kongkretnya, bisa dibuktikan, jika menonton film dokumenter, dengan kadar muatan: pengetahuan, informasi, kecerdasan, bahkan mungkin bisa mendorong lahirnya empati. Ini yang sering terjadi. Penulis adalah sutradara, pengamat film dan pertelevisian.

Tidak ada komentar:

IN PRODUCTION

Tsunami : Gift of Life
Sam Pek Engtai ( Kasih Tak Sampai )

Renita's Journey : Mangga Golek
Merdeka atoe Mati !
Operasi Subyektivitas

My Film

  • GERABAH PLASTIK (2002), ROEDJITO (2003), HELP SPECIES DYING (2003), THE DREAM LAND (2003), I LOST MY FOREST IN ONE MINUTES (2004), THE LAST FOREST (2004), I WILL (2004), HANNA RAMBE (2004), MOTHE'S TEARS (2004), SERAMBI (2005), OUR BELOVED MOTHER (2005), HUMAN TRAFFICKING (2006), RENITA RENITA (2006), IN SHADOW OF THE FLAG (2007), SAM PEK ENGTAI (Kasih Tak Sampai- in production)

Mengenai Saya

Klaten - Jakarta pulang-pergi, Indonesia
Saya film director, fasilitator workshop film dan penulis.